Rabu, 25 Mei 2016

THE WORLD

DUNIA

Apa itu dunia? kapan dunia dijadikan dan siapa penciptanya? apa-apa saja  yang ada di dunia ini? akankah dunia berakhir?Pertanyaan-pertanyaan ini jarang muncul dalam benak kita. Karena jarang muncul, maka saya mencoba memunculkannya, agar kita tahu sedikit bagaimana dunia ini.
Apa itu dunia?
Ini adalah dunia. Dunia yaitu sesuatu yang meliputi seluruhnya. Sesuatu yang dimaksud meliputi keseluruhan dari manusia dan keseluruhan dalam  alam semesta. Dunia yang dimaksudkan manusia identik dengan bumi. Padahal bumi hanyalah sebagian kecil dari dunia. Mengapa, karena bumi adalah salah satu planet dari ciptaan Tuhan, dimana selain bumi masih banyak planet yang lain.
Banyak istilah tentang dunia yaitudunia sebagai zaman, dunia sebagai bumi, dunia ssebagai dunia yang didiami, dunia sebagai kosmos, dunia sebagai umat manusia, dunia maya dan lain-lain. Itulah dunia, dunia yang luas dan tak dapat dijangkau manusia seluruhnya. Walau sebagian sudah dijangkau manusia, itu hanyalah sebagian, masih banyak bagian dunia yang belum dapat dijangkau manusia. 

Kapan dunia dijadikan dan siapa penciptanya?
Dunia dijadikan oleh Allah. Kalau kita meminta bukti, maka buktinya ada di Alkitab dalam Kejadian 1:1.Langit dan bumi itulah dunia yang saya maksud. Diciptakan pada mulanya, jauh sebelum manusia ada. Dimana belum ada waktunya manusia tetapi yang ada adalah waktunya Tuhan. Yang jelas bahwa dunia ada pada mulanya. Kalau kita memandang dunia sebagai umat manusia, sangat jelas bahwa manusia bukan berevolusi dari monyet (orang utan) tetapi manusia diciptakan langsung oleh Allah (Kejadian 1).

Apa-apa saja yang ada di dunia ini?
Dalam dunia banyak hal yang kita ketahui dan banyak hal juga yang tidak kita ketahui. Yang ada di dunia sekarang adalah saya dan kamu juga yang sedang membaca tulisan ini. Kamu tepat berada di tengah-tengah dunia. Didalam dunia ada mahkluk hidup dan mahkluk tak hidup. Mahkluk hidup termasuk di dalamnya manusia, hewan, binatang. Sedangkan mahkluk tak hidup itu sangat banyak , termasuk di dalamnya emas, perak, permata, berlian, dan lain sebagainya. Dalam dunia sering juga disebut alam semesta, termasuk didalamnya tata surya yang di dalamnya juga ada planet dan bumi termasuk dari salah satu planet tersebut. Dalam bumi, kita sering sebut alam semesta dengan sungai, danau, laut, gunung, dan lain sebagainya. Itu hanyalah sebagian kecil dari dunia yang saya tahu. Namun saya yakin, di luar yang saya tahu masih banyak yang tidak saya tahu. 

Akankah dunia berakhir?
Ya, dunia akan berakhir. Akan ada suatu waktu dimana dunia ini akan berakhir. Tetapi bukanlah waktunya manusia, tetapi waktunya Tuhan. Sebab hanya Tuhanlah yang tahu kapan waktunya. Dalam Alkitab telah dijelaskan bagaimana akhir dari dunia ini. Dimana akan ada  anti Kristus, penghakiman, hari Tuhan, kehidupan setelah kematian, milenium (kerajaan seribu tahun), kerajaan sorga, dan banyak hal-hal lain yang dijelaskan dalam Alkitab. Maka seringlah membaca Alkitab karena dari situ semuanya akan disingkapkan Allah bagi kita. Karena Alkitab adalah mother of sains (ibu dari segala ilmu).
Tak dapat kita mengerti sampai kesana mengenai kapan waktunya, namun Tuhan mengerti semua tentang rencananya itu. dan itu pasti terjadi. Karena itulah saya menyebutnya MASTER OF PLAN. Sebagai warga kerajaan Allah atau kerajaan sorga kita tetap setia menunggu waktunya Tuhan.

Sekarang untuk apa kita menyembah manusia lagi, sangatlah rugi saya rasa orang yang menyembah manusia (dukun) atau roh jahat, atau patung-patung. Rugilah sangat. Kita punya banyak kesempatan kok menyembah Allah secara langsung tanpa perantara. Kenapa harus dipersulit? Bisa mudah tetapi manusia persulit. Banyak manusia menyembah pohon-pohon besar, menyembah setan-setan, menyembah, patung-patung, gunung-gunung. Pada hal Allah itu bisa langsung kita sembah dan itulah yang Dia inginkan. Gampang sekali caranya, tidak harus pergi jauh ke negara lain untuk ibadah, tidak harus rugi dengan membangun patung dari emas, tidak. Cukup dengan cara tutup pintu kamar, buka pintu hati bagi Allah. Dan sembahlah Dia dalam Roh dan Kebenaran. Itu cukup. Dan saya sangat 100% yakin kalau itu manusia lakukan, maka manusia itu akan berubah dengan sendirinya. Lakukanlah penyembahan kepada Allah sekali sehari dengan cara menutup pintu kamar dan membuka pintu hati lalu sembah Allah dalam Roh dan Kebenaran. Aku percaya segala sakitmu pasti sembuh, segala masalahmu akan seperti ringan walau seberat apapun itu.

SEMOGA KITA MENGERTI.

Selasa, 24 Mei 2016

INJIL


KERANGKA KHOTBAH TEOLOGI
TEMA: INJIL
I. PENDAHULUAN
II. ISI:
1.  Apa itu Injil?
- Injil adalah Kekuatan Allah (Roma 1:16-17)
  1.  Pemberitaan tentang aktivitas penyelamatan Allah di dalam Yesus dari Nazaret atau berita yang disampaikan oleh Yesus dari Nazaret. Inilah asal usul penggunaan kata "Injil" menurut Perjanjian Baru (lihat Surat Roma 1:1 atau Markus 1:1).
  2. Dalam pengertian yang lebih populer, kata ini merujuk kepada keempat Injil kanonik (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes) dan kadang-kadang juga karya-karya lainnya yang non-kanonik (mis. Injil Tomas), yang menyampaikan kisah kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus.
  3. Sejumlah sarjana modern menggunakan istilah "Injil" untuk menunjuk kepada sebuah genre hipotetis dari sastra Kristen perdana (bdk. Peter Stuhlmacher, ed., Das Evangelium und die Evangelien, Tübingen 1983, juga dalam bahasa Inggris: The Gospel and the Gospels).
Ilustrasi:
Aplikasi:
2. Bagaimana menyampaikan Injil?
- Pergi (Matius 28:19-20)
Ilustrasi:
Aplikasi:

3. Apa yang terjadi setelah orang menerima Injil?
- Dosa-dosa anda telah diampuni oleh Allah  (1 Yoh.1:7)
- Anda telah memiliki hidup yang kekal / masuk ke dalam surga (1 Yoh.5:11-13)
- Anda telah menjadi manusia baru (2 Kor. 5:17)
Ilustrasi:
Aplikasi:
III. PENUTUP/KESIMPULAN

CINTA

CINTA

Cinta itu love
Cinta itu luar biasa
Cinta itu membuat orang bisa lahir
Cinta itu membuat orang bahagia


Namun itu tak selamanya

Cinta itu buta
Cinta itu menghanguskan
Cinta itu menghancurkan
Cinta itu menyedihkan
Cinta itu menyiksa

Tak selamanya Cinta itu seperti yang kita inginkan

Hanya percayalah
Cinta itu kehidupan

Dimanakah kita temukan cinta yang sesungguhnya?
Cinta yang tidak menghanguskan
Cinta yang tidak menghancurkan
Cinta yang tidak menyedihkan
Cinta yang tidak menyiksa

Hanya ada di dalam YESUS
YESUS itu CINTA

Kamis, 19 Mei 2016

PEMERINTAH



BACAAN      : ROMA 13:1-7
AYAT EMAS            : ROMA 13:1
RENUNGAN            :
“PEMERINTAH”

            Dimanapun kita berdiri, disana pasti ada pemerintah. Percaya atau tidak dengan kata-kata ini, namun kenyataan yang pasti adalah demikian. Mau di desa terpencil sekalipun engkau  berada, disanapun pasti ada pemerintah. Misalnya kalau kamu pergi ke kampung kami, dimana kampung kami adalah salah satu kampung terpencil yang baru-baru ini masuk listrik kesana yaitu “Huta Tonga”. Huta Tonga terletak di kecamatan siempat nempu hulu kabupaten Dairi provinsi sumatera utara negara Indonesia. Menurut saya itulah kampung paling kecil setelah saya pergi ke kota-kota mulai dari kota Sidikalang, kota Medan, dan Kota Jakarta. Huta Tonga terpencil, tetapi jangan salah pandangan  dan berpikir bisa suka-suka disana untuk melakukan apapun. Ohhh tidak, karena disanapun ada pemerintah. Pemerintahnya berkuasa atas daerah tersebut. Selain dari pemerintah negara, pemerintah setempat juga ada. Disebut dengan “Raja ni huta”, “Raja ni tano”, “Raja ni adat”. Coba kamu perhatikan bahwa lebih banyak pemerintah disana. Kalau pemerintah dari negara disebut sebagai kepala desa, tetapi dari tempat itu sendiri sudah ada yang disebut dengan raja. Jadi itulah salah satu ciri khas orang batak yaitu banyak raja. Raja ni Huta itulah orang yang mengatur tentang kampung. Kalau ada masalah, Raja ni Hutalah yang harus menyelesaikannya. Raja ni Tano, yaitu orang yang mengatur tentang tanah di kampung kami. Kalau ada tanah yang hendak didirikan rumah harus minta ijin dahulu kepada Raja ni Tano, kalau ada yanng bersengketa tentang tanah seputar tanah di kampung huta tonga, maka Raja ni Tanolah yang harus turun tangan. Raja ni Adat adalah orang yang mengatur tentang adat-istiadat di Huta Tonga. Mulai adat orang yang baru lahir, menikah, meninggal semuanya diatur raja adat. Bahkan kalau salah sedikit dalam melakukan adat, biasanya akan terjadi pertentangan dan keributan. Jadi tidak bisa melakukan sesuatu yang suka-suka kalau hendak ke Huta Tonga. Kenapa? Karena ada pemerintah disana.
            Lalu bagaimana, apakah kita boleh melawan pemerintah, atau tidak taat kepada pemerintah? Dan bagaimana persepsi Alkitab terhadap pemerintah? Hal inilah yang dibahas oleh Rasul Paulus dengan sangat jelas di dalam Roma 13:1-7.

APAKAH BOLEH MELAWAN ATAU TIDAK TAAT KEPADA PEMERINTAH

            Sering terjadi masyarakat melawan pemerintah. Mungkin orang yang melawan tersebut merasa bahwa dirinya benar dan pemerintah salah, sehingga dia melawan. Atau juga dia tidak sadar bahwa dia telah melawan pemerintah. Ada banyak peraturan pemerintah dan ada yang tidak taat kepada peraturan pemerintah.
Dari perspektif Alkitab, bahwa ROMA 13:1 “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah  yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan  oleh Allah.”. Jelas bahwa masyarakat harus takluk kepada pemerintah, dan bukan hanya taat. Semua pemerintah berasal dari Allah dan ditetapkan oleh Allah. Dapat kita perhatikan bahwa kita takluk bukan hanya kepada pemerintah Kristen, yang takut akan Tuhan, pemerintah yang baik. Tetapi kepada pemerintah. Kata takluk  ini luar biasa maknanya karena takluk berarti tunduk sepenuhnya dibawah pemerintah, dimana pemerintah berkuasa atas masyarakatnya.  Seperti yang tertulis dalam Roma 13:4-5 “ Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang  . Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat. Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati   kita.”. Pemerintah menyandang pedang untuk membalas murka Allah atas mereka yang berbuat jahat. Dan karena itulah kita harus takluk kepada pemerintah, tidak ada tawar menawar lagi.  Agar pemerintah kita baik, maka mari berdoa untuk pemerintah kita masing-masing. Berilah waktu untuk mendoakan para pemerintah kita atau dengan kata lain masukkanlah pemerintah dalam topik doa syafaat kita.
Bolehkah melawan pemerintah, kalau pemerintah salah? Berdasarkan Alkitab jelas “TIDAK BOLEH”. Mari kita lihat dalam Roma 13:2 "Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan  Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya.” Wau luar biasa jelas dan tegas jawaban Alkitab. Bahwa kita tidak boleh melawan pemerintah. Melawan pemerintah sama dengan melawan ketetapan Allah. Dan setiap orang yang melawan Allah ataupun pemerintah sama dengan meletakkan bara api di atas kepalanya. Karena akan mendatangkan hukuman atas dirinya sendiri. Karena telah ada undang-undang yang mengatur tentang orang-orang yang melawan pemerintah. Salah satu keberhasilan para misionaris ke berbagai negara, adalah karena dia menuruti peraturan pemerintah dan tidak melawan. Misalnya Nomensen.

BAGAIMANA MENGHADAPI PEMERINTAH?
Banyak masyarakat yang takut kepada pemerintah, dan banyak juga  yang tidak takut. Kenapa orang takut kepada pemerintah? Alkitab menjawab bahwa itu dikarenakan orang tersebut berbuat jahat. Jadi sebenarnya pemerintah bukan untuk ditakuti tetapi dihormati. Lalu bagaimana menghadapi pemerintah ? Pemerintah dihadapi dengan ketenangan, kedamaian, dan jangan buat kerusuhan, tetapi berbuatlah baik. Roma 13:3 ”Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut terhadap pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian  dari padanya.” Kalau kita ingin hidup tanpa takut terhadap pemerintah maka jawabannya sudah jelas : perbuatlah apa yang baik (do the best). Kalau kita berbuat baik, pemerintah juga akan mengahargai dengan pujian yang pemerintah berikan. Jadi tidak ada gunanya melawan pemerintah.  Pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu Roma 13:4.
PAJAK HARUSKAH DIBAYAR?
Mother of sains is BIBLE. Istilah ini tidaklah salah, yaitu bahwa induk segala ilmu ialah Alkitab. Meskipun Alkitab ditulis ribuan tahun yang lalu, tetapi kalau ilmu-ilmu baru sekarang sudah tercantum di dalam Alkitab. Salah satu contohnya adalah pajak. Pajak haruskah dibayar? Alkitab jelas menegaskan YA, WAJIB DIBAYAR. Roma 13:6 “Itulah juga sebabnya maka kamu membayar pajak.  Karena mereka yang mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan Allah.” Orang yang mengurus pajak juga ternyata adalah pelayan-pelayan Allah. Bersyukurlah Anda yang bekerja di bidang perpajakan. Karena anda adalah salah seorang pelayan Allah. Banyak orang yang menghina orang yang bekerja diperpajakan, sekarang setelah membaca Roma 13:6 Anda harus berbangga hati. Jadilah pelayan Allah yang baik dan benar  tanpa korupsi. Ada hal menarik dari ayat 6 ini, bahwa ternyata pelayan-pelayan Allah bukan hanya di Gereja. Tetapi juga di pemerintahan yang mengurus urusan Allah di bumi ini. It’s very good.   
Dalam ayat yang ke tujuh “Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat.”, ini menegaskan kewajiban kita bukan hanya dalam pemerintahan tetapi juga dalam bermasyarakat atau bersosialisasi. Semua ada tempatnya. Pesan yang saya pelajari setelah membaca Roma 13:1-7 :
1.      Harus takluk kepada pemerintah dan tidak boleh melawan pemerintah.
2.      Lakukanlah kebaikan untuk menghadapi pemerintah.
3.      Bayarlah pajak ke pemerintah dan bayarlah utang kepada siapapun berutang.
4.      Berilah rasa taskut dan rasa hormat yang benar berhak menerimanya.


Rabu, 18 Mei 2016

Ubah Karakter

Ubah karakter bangsa Ubah karakter keluarga

Semua orang sejak dari dalam kandungan, butuh pendidikan. Pendidikan itu membuat manusia menjadi manusia. Dalam bahasa modernnya pendidikan itu memanusiakan manusia. Pendidikan ada 3 jenis yaitu :
1. Pendidikan formal,
Pendidikan formal yaitu pendidikan yang dilakukan di sekolah seperti TK/ PAUD, SD, SMP, SMA/SMK. Pendidikan yang dilakukan terstruktur yang lengkap memiliki kurikulum dan menghasilkan ijazah
2. Pendidikan informal, dan 
Pendidikan informal adalah pendidikan di lingkungan (keluarga, masyarakat, dan diri sendiri). Hasilnya untuk membangun diri sendiri.
3. Non formal.
Pendidikan informal yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga keterampilan. Misalnya Kursus bahasa inggris, kursus menjahit, kursus mengemudi yang biasanya ditunjukkan dengan sertifikat.

Saat ini Indonesia sedang dalam proses untuk mengubah karakter bangsa. Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dari dunia pendidikan formal. Namun setelah saya perhatikan, bahwa usaha ini tidaklah salah, namun kurang efisien. Alasannya karena untuk mengubah karakternya bangsa harus dimulai dari pendidikan informal. Pendidikan dalam keluarga. Pada dasarnya, seorang anak dimulai dalam keluarga. Seperti pendapat Jhon Piaget mengenai TABULA RASA. Bahwa anak itu tumbuh dan berkembang oleh lingkungannya dimana anak itu tadinya di ibaratkan seperti kertas kosong dan akan dipenuhi dengan coret-coretan pengalaman. Dimana anak itu bertumbuh, maka  dengan sendirinya juga karakter anak akan seperti lingkungannya. Jadi agar karakter bangsa Indonesia ini dirubah, cara yang paling efisien menurut saya adalah mengubah karakter keluarga. Pemerintah harus bergerak cepat ke setiap keluarga.

Belajar dari negara Finlandia sebagai negara yang pendidikannya terbaik di dunia, dimana setiap keluarga ketika hendak melahirkan sudah dibekali dengan buku-buku panduan dan sampai lahirnya seorang anak, pemerintahnya berperan aktif.

Akhir kata ubah karakter Bangsa Indonesia Ubah karakter Keluarga

nyanyi

putus cinta


PAK Masyarakat Majemuk


Masyarakat Majemuk
Pluralitas dalam Kehidupan 
Bermasyarakat yang Beradab dan Bermartabat 

Pendahuluan
Masyarakat majemuk atau masyarakat plural dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan strata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya dan agama. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan yang sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu (Asykuri, dkk., 2002:107)
Pluralitas baru bermakna positif bila ada interaksi dan relasi saling percaya antara sesama (social-trust) . Hal itu merupakan prasyarat untuk terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat . Yaitu masyarakat yang memiliki moral, akhlak, etika, budi luhur, santun, sabar dan arif, menghormati hak asasi, menghormati diri sendiri dan orang lain, bangsa sendiri dan bangsa lain, suku dan kelompok sendiri dan suku serta kelompok lain. Dengan begitu upaya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal untuk menjadi lebih sejahtera, berkeadilan dan berkemakmuran, niscaya akan membawa masyarakat itu dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. 
Untuk maksud tersebut diperlukan infra struktur harmonisasi sosial dalam kehidupan bersama. Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan martabat. Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah budaya primitif, keterbelakangan dan hanya asal berbeda dengan alasan kemurnian penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan hak manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama. 
Tulisan berikut mencoba mendiskripsikan dan menganalisis secara terbatas , pertama, tentang hubungan perguruan tingi dengan tranformasi sosial-budaya. Kedua, wacana dalam menjawab pertanyaan tentang apa yang menjadi intelectual mind-set atau pemahaman intelektual tentang pluralitas dalam kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. 

Perguruan Tinggi dan Transformasi Sosial-Budaya
Salah satu tanggungjawab kaum intelegensia (Hatta, 1956: 1-12) adalah menjadi agen perubahan masyarakat atau transformasi sosial dan budaya. Oleh karena itu apa yang menjadi titik perhatian bangsa yang terus menerus menjadi concern (kepedulian) masa kini dan masa depan, menjadi relevan untuk ditranformasikan di dalam dunia pendidikan, apalagi pendidikan tinggi. Sejak beberapa waktu yang lalu, langkah ini di antaranya direalisasikan melalui komponen kurikulum Masyarakat Berkehidupan Bersama (MBB) dalam mata kuliah Ilmu Sosial, Budaya Dasar (ISBD).
Sebagai transformator, perguruan tinggi menjadi amat strategis dan penting karena pada saatnya alumni perguruan tinggi dalam berbagai stratanya akan menjadi subyek dominan untuk menggeluti kehidupan bangsa saat ini dan ke masa depan. Dalam bahasa lain perguruan tinggi adalah alat perjuangan bangsa dan alat pencerdas bangsa (T.Jacob, Mandiri Sianipar, 1984: 218). Lebih-lebih lagi pada dekade terakhir ini, dilihat dari substansi implikatifnya, tugas perguruan tinggi amat signifikan. Di antaranya untuk mengantisipasi gejala bangsa yang semakin rentan (fragile) konflik. Begitu pula makin menggejalanya cara pandang dan koridor pemikiran sebagian masyarakat yang cendrung menyempit. Bahkan ada kecendrungan klaim kebenaran menjadi milik dan monopoli golongan, kelompok dan aliran. Parahnya, klaim kebenaran bukan terbatas sebagai milik sendiri dan kelompok tetapi ingin diyakinkan kepada pihak lain dengan berbagai cara yang kadang-kadang tidak bijak. 
Maka secara kasat mata terlihat bahwa di mana-mana potensi konflik muncul. Baik konflik horisontal maupun vertikal. Serta-merta dengan sebab yang amat ringan dan tanpa disangka menimbulkan gesekan, adu fisik, mass-riot atau huru-hara massal. Untuk menghindari itu, maka pemahaman pluralisme melalui pendidikan, merupakan keharusan dan bukan sekedar menjalankan keputusan formal otoritas pendidikan. 
Lebih dari itu harus merupakan usaha sadar yang sistematik. Perlu ditumbuhkembangkan kesadaran pluralitas kehidupan bremasyarakat berkeadaban dan bermartabat terhadap kelompok-kelompok yang ada di dalam masyakat. Bukan hanya untuk menjaga harmoni sosial tetapi juga meningkatkan kualitas dan daya saing masing-masing kelompok yang dinamis dan damai. Usaha kolektif untuk menuju kehidupan yang lebih baik dijalankan melalui sebuah kompetisi antarkelompok dengan aturan main yang dapat dipahami. Kesadaran peluralisme masyarakat, dengan demikian diharapkan dapat menghindarkan pecahnya konflik antarkelompok setiap kali terjadi persaingan di dalamnya . 

Berkeadaban dan Bermartabat
Cita-cita masyarakat utama yang berakhlak mulia dan bermarbat, begitu luhurnya sehingga menjadi titik sentral misi kenabian dan kerasulan Muhammad saw. “Sesungguhnya aku diutus oleh Allah swt ke permukaan bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia menjadi lebih mulia (HR.Mutafaqun alaih). Pejuang-pejuang kebangsaan Indonesia sejak dari masa klasik sampai moderen Sultan Hasanudin, Imam Bonjol, Diponegoro sampai ke Agus Salim, Mohammad Natsir dan Mohammat Hatta samapai ke tokoh bangsa lain seperti Benyamin Franklin, semua mereka mempelajari dan mempraktekkan budaya jujur, adil, arif-bijaksana, diam itu emas (tidak gembar-gembor), tertib (disiplin), tenang, teguh hati, hemat, rajin, moderat, bersih (sehat), hidup murni dan rendah hari. Ketigabelas budaya beradab tersebut dipraktekkan dengan pengalaman jatuh-bangun untuk membangun diri dan bangsa menjadi insan beradab, bermartabat dan terhormat. Transformasi berkeadaban dan bermartabat itu harus dilakukan melalui interaksi yang santun dan dialog yang produktif dalam masyarakat yang plural. Dimulai dari pemahaman peorangan, keluarga dan warga masyarakat tentang perlunya cinta-kasih antara sesama; memupuk reasa keindahan; empati dalam penderitaan dan kegelisahan orang lain; menghormati hukum dan keadilan, memiliki padangan positif untuk hidup bersama; mempunyai tanggungjawab dalam pengabdian; dan memiliki harapan yang optimis dalam kehidupan (M Habid Mustopo, 1983: 89-274).
Kata beradab dan bermartabat, sejatinya tidaklah terbatas sebagai inti kualitas dan kapasitas manusia serta masyarakat yang berbudi luhur. Lebih jauh adalah menyangkut pula makna kebudayaan dan sistem kehidupan yang lebih luas. Koentjaraningrat (1974: 20) mengatakan : 

Istilah peradaban dapat disejajarkan dengan kata asing civilization. Istilah itu biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah, seperti : kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat yang kompleks. Sering juga dipakai istilah peradaban itu untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.

Manusia berperadaban dan bermartabat dengan demikian diharapkan dapat mensinerjikan antara suasana dan format bathin yang luhur dengan kreatifitas imaginasi yang tinggi dalam melahirkan karya tinggi serta menempatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pada posisi yang tinggi pula. Mesin-mesin tidak hanya menyebabkan manusia bisa terbang, menyelam, melihat dan mendengar dari jarak jauh, membangun gedung-gedung pencakar langit, tetapi juga mengembangkan manusia itu sendiri (Weston La Barre, Parsudi Suparlan, 1984:19). Artinya, betapa tinggi penguassan ilmu dan teknologi, kalau digunakan untuk menghasilkan mesin-mesin perang pembunuh massal, menciptakan perang dan teror di mana-mana, maka hal itu tidaklah dapat dikatakan karya manusia yang beradab dan bermartabat 

Dari sejarahnya, masyarakat Indonesia yang beradab dan bermartabat sudah pernah lahir sebagai kekuatan dunia dalam kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Kesultanan-kesultanan Islam sejak abad ke-9 sampai abad ke-15. Realitas sejarah mengesankan kepada generasi sekarang, bahwa bobot dan kualitas berkeadaban dan bermartabat itu, lahir dari rahim masyarakat yang majemuk, plural dan berbeda-beda serta beragam-ragam. Memasuki abad ke-20, paling tidak, ada tiga karakter diskursus tentang trend (arah) pemahaman kolosal masyarakat Indonesia tentang dirinya yang pluralis, beradab dan bermartabat yang selalu didengungkan sejak pra, pada dan pasca kemerdekaan. 
Ketiganya dapat dielaborasi menurut watak awal yang asli sosio-klutural-ideologis; keterkaitan dengan politik dan demokrasi dalam kecendrungan globalisme; dan keterkaitan dengan agama-agama. Dengan begitu, maka kosa kata dan moto kemajemukan, bhinneka tunggal ika atau unity in diversity dan pluralitas dalam berkehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat perlu dikaji lebih dalam.

Watak Pluralitas
Secara umum pandangan dunia atau world-view bangsa ini terhadap dirinya tentang kemajemukan (pluralitas) dapat didiskripsikan dalam stream-line (arus utama) menurut awal kelahiran bangsa, masa pertumbuhan dan masa perkembangan ke depan . Baik secara sosio-kultural, sosio-politik dan sosio-religius. Secara ringkas, dapat ditelusuri menurut periodikal sejarah yang dikategorikan sebabagai watak kultural, aslinya pada masa awal kelahiran bangsa, zaman revolusi dan awal kemerdekaan (1928-1959); watak politik dan kekuasaan (1959-1990); serta watak reformasi, priode sekarang dan ke depan . 

Karakter Pertama, watak majemuk secara sosio-kultural aslinya. Masyarakat Indonesia adalah terdiri atas bangsa yang bersuku-suku dengan cara hidup bermasyarakat dan berbudaya, adat istiadat serta 300 lebih dialek lokal, hidup di atas lebih kurang 17 ribu pulau-pulau yang membentang dari Sabang ke Merauke, dari Zulu ke Pulau Rote yang pernah dijarah Portugis, Spanyol, Inggris dan dijajah Belanda, dan terakhir Jepang sejak abad ke 16 sampai pertengahan abad ke-20. Jauh sebelumnya telah berdiri kerajaan Sriwijaya, Mojopahit dan kerajaan Mataram serta kesultanan-kesultanan di berbagai wilayah nusantara. Secara historikal oleh Koentjaraningrat (1979 : 21-34) kemajemukan Indonesia menerima pengaruh dari kebudayaan Hindu, Islam dan Eropa di masa lalu. Akan tetapi di abad ke-20, dalam kemajemukan dan perbedaan-perbedaan itu masyarakat yang belum menjadi satu bangsa itu mempunyai tekad untuk bersatu dengan dikumandangkannya tekad Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Tekad itu pula yang mengantarkan bangsa ini menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada masa awal, istilah kemajemukan merupakan kosa kata murni dalam mengatakan kebermacaman atau keberagaman bangsa Indonesia. Lalu dicanangkan motto bhinneka tungal ika: masyarakat majemuk tetapi tetap bersatu atau unity in diversity. Motivasi apolikasi kosa kata itu datang dari dalam diri masyarakat dan bangsa Indonesia sendiri. Katrakanlah, bahwa pluralisme berakar dari ideologi dan sosio-kulktralnya sendiri. 

Karakter kedua, watak sosio-politik dan kekuasaan. Setelah era proklamasi bangsa ini mencitrakan diri sebagai bangsa majemuk untuk mengisi kemerdekaan dengan mengikuti cara-cara demokrasi politik liberalisme Barat. Di sini dimulai pengaruh kultur politik kosmo-globalisme dimulai. Dengan dikeluarkannya Maklumat Presiden No X, 16 Oktober 1945 yang intinya mengubah sistem pemerintahan Presidentil ke Parlementer dan Maklumat Presiden 3 November 1945 tentang kesempatan rakyat mendirikan partai-partai, merupakan awal pluralitas-politik yang syah. Dengan begitu maka niat monolitik Soekarno yang hanya akan menggiring PNI sebagai satu-satunya partai politik, berubah kepada dibolehkannya hidup banyak partai. Kehidupan multi partaipun dimulai. Dengan demikian pluralitas politik dihalalkan, hanya dengan satu restriksi, bahwa partai jangan hanya asal berdiri saja melainkan turut memperjuangkan keikaan yaitu turut memperjuangkan kepentingan rakyat banyak: “mempertahankan kemerdekaan “ dan “memperjuangkan keamanan rakyat” (Deliar Noer, 1990 : 284-289). Mungkin kebebasan itu secara teoritikal adalah baik. Akan tetapi karena para pemimpin dan masyarakat politik pada masa itu ditambah rakyat yang belum terdidik secara memadai maka kebebasan multi partai itu tidak membawa keuntungan amat berarti dalam perkembangan bangsa. Keadaan itu telah membawa ketidak stabilan pemerintah dengan berganti-gantinya kabinet. Lebih dari itu Soekarno yang merasa jabatan Presiden hanya sebagai simbol negara, ingin mendominasi kekuasaan. Puncaknya adalah mundurnya Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden th 1956 (Ibid, 482). Kemudian berturut-turut dibubarkannya Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan membubarkan dirinya Partai Masyumi pada 1959 dan pembubaran resminya oleh Presiden th. 1960. Selanjutnya kehidupan nasional didominasi oleh jargon Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis). Nasakom waktu itu merupakan soko guru Soekarno sebagai tri-tunggal politik nasionalis yang citrakan sebagai PNI, Islamis yang dicitrakan NU dan Komunis dan sosialis yang dicitrakan sebagai PKI . Dengan segala resikonya, moto bhinneka tunggal ika sudah dikerdilkan dari plate-form politik.
Keadaan serupa dengan substansi yang berbeda terjadi pada masa Orde Baru. Ketika Masyumi ingin dihidupkan kembali oleh para pemimpinnya yang baru keluar dari penjara Orla seperti M. Natsir, M. Rum, Kasman Singodimejo dan lain-lain, partai itu tidak dibenarkan menamakan diri Masyumi dan harus yang memegang pucuk pimpinan partai yang menampung eks Masyumi itu bukan tokoh lama. Maka lahirlah Parmusi yang dipimpin Djarnawi Hadikusuma yang belangan terlalu dekat dengan kelompok mantan tokoh masyumi lalu digantikan oleh tokoh yang dianggap lebih dekat dengan Orba seperti Mintareja dan kemudian J. Naro. Episoda berikutnya pada pentas politik nasional awal Orba itu terdapat 9 partai, termasuk Parmusi dan 1 Golkar. Belakangan kecuali Golkar, 9 partai tadi dilikwidasi (istilah waktu itu fusi) menjadi 2 Partai Politik: PPP dan PDI, pada th 1973 (Sahar L. Hasan, Ed. 1998: 15). Sejak itu di Indonesia hanya terdapat 2 Parpol dan 1 Golkar yang menjalankan fungsi kekuatan resmi sebagai infra struktur politik. Dengan 3 kekuatan politik itu, pluralitas politik pada dekade awal Orde Baru itu secara relatif masih ada termasuk masih dibolehkannya 2 parpol tadi berasaskan idelogi Islam dan Nasionalisme, sementara Golkar tetap dengan ideologi Pancasilanya. Belakangan terjadi perubahan total. Dengan alasan politik sebagai panglima dan keragaman idelogi telah merusak tatanan bangsa pada masa Orla, maka keragaman atau pluralitas ideologi harus dilenyapkan. Kemauan itu terealisasikan dengan disyahkannya UU No. 3 tentang Parpol, th 1975 dan UU No. 5 tentang Ormas th. 1985, diwajibkannya asas tunggal sebagai ideologi dasar dan asas Parpol dan Ormas. Upaya pengasastunggalkan itu juga didasari dengan alasan-alasan kepentingan integrasi nasional, perlunya cara pandang kesatuan udara, laut dan darat sebagai satu kesatuan dan perlunya cara pandang berwawasan nusantara (Sutopo Yuwono, Alfian, Ed, 1985 : 83-95). Dengan begitu maka pluralitas ideologi sudah terkubur. 
Selain itu, pluralitas sosial budaya yang pada masa pra dan awal kemerdekaan hingga masa akhir masa Orla masih berkembang simultan dan agak proporsional, berubah secara signifikan. Bahasa Indonesia yang terdiri dari Bahasa Melayu ditambah bahasa daerah lainnya dan Bahasa Asing, terkooptasi dengan kosa kata dan istilah-istilah Jawa dan Sanskerta. Sekedar menyebut contoh, muncullah istilah Parasamya Purnakarya Nugraha untuk anugrah pembangunan. Binagraha untuk kantor Presiden dan sebagainya. Watak pluralitas tidak lagi teraplikasikan dalam kehidupan bangsa secara berimbang tetapi telah terkooptasi oleh satu budaya suku bangsa mayoritas yang memegang tampuk kekuasaan.

Karakter ketiga, pluralitas agama secara sosiologis . Dalam rentangan waktu, diskursus pluralitas agama secara sosiologis, tidaklah terkait secara padu dengan kenyataan reformasi politik di Indonesia dengan jatuhnya Soeharto 21 Mei 1998. Karena, pada dasarnya diskursus pluralitas agama sudah jauh ada sejak masa awal Orde Baru terutama dalam hubungan Islam dan Kristen. Tetapi karena watak Orde Baru kala itu yang selalu merujuk kepada kestabilan pembangunan sehingga melahirkan trilogi pembangunan yang disebut: stabilitas keamanan; pertumbuhan ekonomi dan; pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, maka setiap gejala yang mengedepankan diskursus tentang pluralitas agama selalu dikaitkan dengan kewaspadaan yang akan mengganggu kepentingan nasional. Maka setiap yang berbau intrik suku, agama dan hubungan antara golongan (SARA) yang bersifat primordialistik, selalu ditekan. 
Khusus hubungan antar agama , pemerintah mempunyai kredo yang disebut tri-krukunan hidup antar pemeluk agama. Ketiganya adalah kerukunan hidup internal umat beragama; kerukunan hidup antara umat berlainan (eksternal) agama; dan kerukunan hidup pemeluk dan organisasi agama dengan pemerintah. Hasilnya, pada masa itu, meskipun ada gangguan misalnya pelecehan tempat ibadah agama tertentu oleh pihak lain sehingga menimbulkan kerusuhan, tidaklah akan berlangsung lama dan traumatis. Pihak keamanan dan berwajib cepat memadamkannya.
Pada dekade akhir Orde Baru, formula dan keran kebebasan semakin terbuka. Setelah masa reformasi keran yang semakin terbuka tadi itu bahkan memberikan kebebasan yang amat sangat. Sebagian ada yang mengatakan kebebasan yang kebablasan. Maka wilayah yang selama ini amat sensitif seperti SARA di masa orde baru, sudah tidak lagi tabu untuk publikasi dan diwancanakan di mana-mana. Maka wacana hubungan antar umat beragama amat intensif dikaji dalam berbagai istilah pluralitas agama. Pada dasarnya, agama secara sosiologis dipandang sebagai sesuatu yang given dan sunnatullah memang beragam-ragam dan berbeda-beda (Tobroni-Syamsul Arifin, 1994: 33-34). Akan tetapi, sebagai mana nanti akan disinggung, pluralitas agama akan mengalami multi-tafsir dan pada gilirannya ada yang menganggap sebagai sumber gesekan dan sengketa dalam masyarakat.

Pluralitas Agama
Di Indonesia sejak awal kemerdekaan, agama yang dinyatakan resmi adalah Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan sejak pemerintahan Gus Dur ditambah dengan Kong Hu Cu (Konfusionisme). Di kalangan pemeluk agama, secara umum pandangan dan pemahaman eksistensi masing-masing agama dalam kaitan kehidupan bersama dalam bermasyarakat dapat diterima. Tentu saja dengan segala resiko kepelbagaian dan keberagaman atau kemajemukan Inilah yang di dalam tulisan ini disebut sebagai pluralitas sosiolo-kultural agama. Yang dimaksud adalah perbedaan kelompok, suku, bahasa, budaya dan adat-istiadat, serta agama yang dianut. 
Pengakuan formal oleh negara telah diakomodasikan di dalam struktur Departemen Agama dengan diformasikannya dalam struktur organik Direktorat Jenderal masing-masing agama tadi. Dengan demikian, baik secara formal maupun informal, kenyataan bahwa kehadiran agama-agama secara sosiologis dan supra struktur pemerintahan dapat diterima sebagai sebagai hal yang syah. Kalangan Islam merujuk pluralitas sosiologis itu dari pedoman pokoknya al-Qur’an. Oleh mayoritas kalangan Islam pluralitas sosiologi itu diterima sebagai sesuatu yang murni. Inilah yang dirujuk kepada QS.49:13 . Perbedaaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebagai kenyataan positif dan itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah(QS, 30:22). Kemajemukan dan perbedaan cara pandang di antara manusia tidak perlu menimbulkan kegusaran tetapi hendaklah dipahami sebagai pangkal tolak dorongan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan . Tuhanlah yang akan menerangkan mengapa manusia berbeda, nanti ketika kita kembali kepada-Nya (QS, 5:48). 
Di dalam kenyataan kehidupan pluralitas sosio-kultural itu ternyata telah menimbulkan berbagai pengalaman empirik yang berbeda-beda pula pada setiap bangsa, kawasan, ethnik dan kelompok. Agama yang pada mulanya diterima dalam batas sosio-kultural tadi ternyata dalam implikasi pengalaman-pengalaman itu, kadang kala berubah menjadi faktor yang berkelindan dengan fanatisme sosio kultural lainnya seperti sosio-politik, sosio-ekonomi. Rumitnya pada waktu wilayah kepentingan pribadi dan kelompok dimasuki oleh provokator untuk kepentingan sesaat seperti politik-kekuasaan dan kemauan untuk menghegemoni kelompok lain, resiko konflik menjadi lebih besar. Maka agama menjadi rawan bukan saja menjadi potensi integrasi tetapi dapat menjadi potensi konflik terbuka. Disinilah agama sebagai unsur pluralitas masyarakat dianggap dapat menjadi faktor ancaman bagi kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. 
Akan tetapi apakah kondisi itu murni hanya karena kecemburuan sosiologis? Pertanyaan ini hendak dijawab oleh para peneliti dengan mengkaji kemungkinan adanya pontensi konflik lain yang lebih signifikan. Misalnya adakah potensi konflik itu berdasarkan konsep teologis atau cara masyarakat beragama dalam menerapkan akidah-tauhidnya? Pertanyaan ini menjadi relevan dikaitkan dengan tiga sikap dalam teologi agama-agama sebagai watak pluralitas yang disebut dengan ekslusifisme, inklusfisme dan paralelisme (Budhy Munawar-Rachman, 2001: 44-52). 
Pertama, sikap ekslusif. Sikap yang menganggap tidak ada kebenaran dan jalan keselamatan selain agamanya sendiri. Atau dengan ungkapan lain tidak ada agama yang benar selain agamanya sendiri. Sikap seperti ini ternyata ada di dalam pemeluk berbagai agama. Di kalangan penganut Nashrani, Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan . “ Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes, 14:6). Ayat ini dalam persepktif orang yang bersikap ekslusif sering dibaca secara literal. Ungkapan lain, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain Dia”, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain. Maka terkenallah istilah No other name yang menyelamatkan manusia (Kisah Para Rasul 4, 12). Dengan istilah itu disimbolkan tidak adanya keselamtan di luar Yesus Kristus. Sejalan dengan itu ada pula pandangan ekslusif lain sejak abad pertama oleh Gereja yang dirumuskan sebagai extra ecclesiam nullau salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) dan extra ecclesiam nullus propheta (tidak ada nabi di luar Gereja). Pandangan ini pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442. Paradigma ekslusif itu, sampai sekarang selalu menjadi pegangan oleh para penganut garis keras para penginjil . Di antara penginjil Protestan yang menganut paradigma ini adalah Karl Bath dan Hendrick Kraemer. Nama yang kedua ini bahkan menulis buku The Christian Message in Non-Christian World mengatakan “Tuhan telah mewahyukan jalan, kehidupan dan kebenaran dalam Yesus Kristus dan menghendaki ini diketahui di seluruh dunia” (Ibid, 45).
Sikap ekslusifisme dianggap para pengkaji pluralisme agama juga ada dari kalangan Islam. Beberapa ayat al-Qur’an oleh para pengkaji itu dapat pula dianggap sebagai rujukan kaum muslimin yang membawa kepada sikap eksklusif . Di antaranya adalah QS.5/Al-Maidah:3; 3/Ali-Imran: 85 ; dan 3/Ali Imran :19. “Hari ini orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamamu. Janganlah kamu takut kepada mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-cukupkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu”; … Barang siapa menerima agama selain Islam maka tidaklah akan diterima dan pada hari akhirat ia termasuk golongan yang rugi”. …” Sungguh, agama pada sisi Allah adalah Islam”. 

Kedua, sikap Inklusif. Sikap ini bersumber kepada dokumen Konsili Vatikan II 1965 yang mempengaruhi komunitas Katolik. Produk Konsili itu yang berkaitan dengan agama lain ada pada “Deklarasi Hubungan Gereja dan Agama-agama Non Kristiani (Nostra Aetate) . Teolog penganut pandangan ini adalah Karl Rahner ( Ibid, 46). Ia mengatakan bahwa orang-orang Non-Kristiani juga akan selamat sejauh mereka didup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan, karena kaarya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum pernah mendengar Kabar Baik (Kristen). Rahner menyebutkan sebagai sikap inklusif berdasarkan the Anonymous Christian (Kristen anonim). Sikap ini disebutkan oleh para kritikus pluralis sebagai membaca agama lain dengan kacamata agama sendiri. 
Dalam hal seperti ini, sikap inklusif dalam Islam tampaknya dapat merujuk kepada Filisof Muslim abad XIV Ibn Taymiah yang membedakan antara orang-orang dan agama Islam umum (yang Non-Muslim par excellance) , dan orang-orang dan agama Islam khusus (Muslim par excellance). (Ibid) . Kata Islam sendiri di sini diartikan seabagai “sikap pasrah kepada Tuhan”. Sebagaimana dikutip Budhy menawar Rachman yang mengutip Nurcholish Madjid:
“Pangkal al-Islam ialah persaksian bahwa “ Tidak ada suatu Tuhan apapun selain Allah, Tuhan yang sebenarnya, “ dan persaksian itu mengandung makna penyembahan hanya kepada Allah semata meninggalkan penyembahan kepada selain Dia. Inilah al-Islam al-‘am (Islam umum, universal) yang Allah tidak menerima ajaran ketundukan selain daripadanya”.

“ Maka semua Nabi itu dan para pengikut mereka, seluruhnya disebut oleh Allah Ta’ala bahwa mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa menganut suatu din selain al-Islam maka tidak akan diterima daripadanya al-din dan di akhirat dia termasuk yang merugi (QS, 3:85) dan firman Allah, “ Sesungguhnya al-din di sisi Allah ialah al-Islam (QS, 3:19”, yang menurut pemahaman Nurchalish berdasarkan Ibn Taymiyah itu –tidak khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka Nabi Muhammad s.a.w. diutus, melainkan hal itu merupakan suatu hukum umum (hukm ‘amm ketentuan universal) tentang manusia masa lalu dan manusia kemudian hari (Ibid, 46-47). 

Dalam tafsiran mereka seperti diteruskan Budhy Munawar-Rachman, yang menganut paham yang disebut “Islam Inklusif” ini, mereka menegaskan sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-Islam dengan pemahaman ketundukan dan sikap pasrah, itu tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah agama mereka al-Islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Itu semua hanyalah peristilahan Arab. Para Nabi dan Rasul, dalam da’wah mereka pada dasarnya menggunakan bahasa kaumnya masing-masing. Seperti QS, Ibrahim/14:4 “ Kami tidak mengutus seorang Rasul dengan kecuali dengan bahasa kaumnya”. Selanjutnya Nurcholish Madjid mengatakan lagi :

Manusia berselisih tentang orang terdahulu dari kalangan umat Nabi Musa dan Nabi Isa, apakah mereka itu orang-orang muslim? Ini adalah perselisihan kebahasaan. Sebab “Islam khusus” (al-Islam khashsh) yang dengan ajaran itu Allah mengutus Nabi Muhammad saw. Yang mencakup syari’at al-Qur’an tidak ada yang termasuk ke dalamnya selain umat Muhammad saw. Dan al-Islam sekarang secara keseluruhan bersangkutan dengan hal ini. Adapun “ Islam umum” (al-islam al’amm) yang bersangkutan dengan syari’at itu Allah membangkitkan seorang nabi maka bersangkutan dengan islam-nya setiap umat yang mengikuti seorang Nabi dari para nabi itu. 


Menurut Budhy Munawar-Rachman, dari wacana di atas tadi dapat disimpulkannya bahwa kalangan Islam inklusif menganut suatu pandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. “Para nabi adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak, namun agama mereka satu”. Rasulullah bersabda, “Aku adalah orang yang paling berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan akhirat. Para Nabi adalah saudara satu bapak, ibu mereka berbeda-beda namun agama mereka satu (HR. Bukhari). Mereka yang bersikap inklusif ini selanjutnya mengutip QS, 3: 64, sebagai rujukan bahwa ada titik temu agama-agama, di mana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju kebenaran). Menurut kalangan Islam inklusif ini, Allah memang tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisme) . Adanya perbedaan menjadi motivasi berlomba menuju berbagai kebaikan; dan Allah akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan yang ada itu. (QS, al-Maidah/5:48). Menurut Budhy Munawar-Rachman, di Indonesia pandangan ini secara kuat dianut oleh Nurcholish Madjid (Ibid, 48).

Ketiga, sikap Paralelisme . Gugusan pemikiran (paradigma) ini berpandangan bahwa setiap agama (agama-agama lain di luar Kristen) mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim bahwa Kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap ekslusif), atau melengkapi atau mengisi jalan yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak, demi alasan teologis dan fenomenologis. Sikap pluralis teologis dan fenomenalogis ini dengan sangat kuat dianut oleh para penganut pluralis yang asli, di antaranya adalah John Harwood Hicks dalam God and the Universe of Faith (1973). Pendapatnya dianggap suatu revolusi dalam pemikiran teologi agama-agama. Menurut Budhy Munawar-Rachman, Hicks menggunakan analogi astronomi sebagai berikut : 

“ Menurut Ptolemeus, bumi adalah pusat dari seluruh alam semesta. Pergerakan planet-planet lain oleh postulating epicycle. Pertumbuhan jumlah epicycle menjadikan gambaran Ptolemeus makin tidak masuk akal. Karena itulah akhirnya muncul gambaran Kopernikus, yang menggantikan gambaran Petolemeus, dengan menganggap mataharilah yang sebenarnya merupakan pusat alam semesta, bukan bumi. Dengan analogi ini Hicks hendak mengatakan bahwa teologi Ptolemeus kuno (maksudnya tentu saja orang seperti Barth, Kraemer dan lainnya) dan pertumbuhan epicycle-nya (pada Rahner, dan lainnya) yang menanggap bahwa Yesus Kristus adalah pusatnya, makin tidak mungkin menerangkan perkembangan agama-agama lain. Karena itu ia melakukan revolusi Kopernikan dalam bidang pemikiran teologi diperlukan, dengan mengganti Kekristenan (Yesus Kristus) kepada Tuhan sebagai pusat dari alam semesta iman manusia. Semua agama termasuk Kristen, melayani dan mengelili-Nya. (Ibid).

Di kalangan pemikir Islam pluralis, tafsir pluralis merupakan pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Contohnya perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antara agama secara umum) diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Penganut Islam pluralis seperti Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr, seperti dikutip Budhy Munawar-Rachman mengatakan bahwa setiap agama dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut: perumusan iman dan pengalaman iman. Hanya saja setiap agama selalu menanggap yang satu mendahului yang kedua . Katanya, Islam mendahulukan “perumusan iman” dalam hal ini Tawhid. Dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sebaliknya agama Kristen mendahulukan pengalaman iman (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi, dan perumusan iman ini mengikuti pengalaman ini, sehingga terciptalah rumusan dogmtis mengenai trinitas. Menurut mereka yang pluralis ini, perbedaan struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama. (Ibid, 49). . Tentu saja paradigma pluralis demikian ditolak oleh para pemeluk agama yang bersikap ekslusif dan inklusif.

Kesimpulan
Kenyataan pluralitas sosiosilogis tidak selalu secara otomatis membawa kepada keberkahan dan makna yang positif kalau tidak disejalankan dengan upaya yang terus menerus untuk diarahkan kepada kehidupan bermasyarakat yang berkeadaban dan bermartabat. Upaya itu menjadi amat strategis dengan mengoptimalkan peranan perguruan tinggi sebagai realisasi tanggungjawab sosialnya terhadap masyarakat dan bangsa. Harmonisasi sosial merupakan infra struktur masyarakat untuk menjadikan pluralitas itu lebih bermakna untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Ada hal-hal yang rawan dalam relasi pluralitas masyarakat selain masalah sosio-kultural, ekonomi dan politik. Di antaranya adalah relasi masyarakat dan agama-agama dalam konteks berteologi .
Pluralisme agama dalam wacana teologis yang dapat membawa kepada pengertian agama itu sama saja, akan membahayakan akidah suatu agama. Maka dapat dipahami, kalau MUI melarang paham pluralisme-teologis itu di Indonesia karena akan meringankan makna eksistensi akidah suatu agama bagi para pemeluknya. Akan tetapi wacana pluralis-teologis cukup signifikan untuk perkembangan ilmu pengetahuan seperti kajian terhadap berbagai filsafat temasuk dari yang paling masuk akal sampai kepada yang utopis. Bahkan mempelajari komunisme dan atheisme untuk ilmu pengetahuan adalah diperlukan untuk mengetahui jalan pemikiran dan alasan-alasan mereka. 
Dengan begitu akan ada kesabaran intelektual dan hati untuk meletakkan mereka yang berbeda pendapat sebagai manusia yang bebas berfikir dan tidak membawa kepada kepanikan apalagi gesekan fisik. Oleh karena itu sebaiknya wacana pluralis untuk kalangan awam tidak dikaitkan dengan cara bertawhid atau pemikiran iman atau filosofis-teologis. Wacana peluralis lebih relevan untuk mengatur kemajemukan masyarakat atau tataran sosiologis, kultural, ekonomi dan politik. Sehingga tercipta kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. Allah a’lam bi al-shawab. E-mail : shofwankarim@plasa.com 

Daftar Kepustaakaan

Asykuri Ibnu Chamim, dkk . 2002. Pendidikan Kewarganegaraan: Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban. Yogyakarta: Diktilitbang PP Muhammadiyah-The Asia Foundation.

Mohammad Hatta. 1976. Tanggungjawab Kaum Intelegensia. Jakarta: Bulan Bintang.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

T. Jacob dalam Mandiri Sianipar. 1984. “Perguruan Tinggi sebagai sumber Kader Bangsa”. Pendidikan Pilitik Bangsa. Jakarta: Sinar Harapan.

M. Habid Mustopo, Ed. 1983. Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay Manusia dan Budaya. Surabaya: Usaha Nasional.

Koentjaraningrat. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.

Parsudi Suparlan,Ed. 1984. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya: Bacaan untuk MKDU, Khususnya ISD. Jakarta: Konsorsium Antar Bidang Depdikbud dan Rajawali.

Deliar Noer. 1990. Mohammad Hatta; Biografi Politik. Jakarta: LP3ES

Sahar L. Hasan, Ed. 1998. Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi. Jakarta: Gema Insani Press.
Sutopo Yuwono dalam Alfian, Ed. 1985. “Persepsi Ketahanan Nasional terhadap Kebudayaan”. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta : Gramedia.

Tobroni-Syamsul Arifin. 1994. Islam, Pluralisme Budaya dan Politik. Yogyakarta: SI Press.

Budhy Munawar-Rachman.2001. Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina.
 

Masyarakat Majemuk, Masyarakat Multikultural, dan Minoritas: Memperjuangakan Hak-hak Minoritas
Masyarakat Majemuk

Dalam masyarakat majemuk manapun, mereka yang tergolong sebagai minoritas selalu didiskriminasi. Ada yang didiskriminasi secara legal dan formal, seperti yang terjadi di negara Afrika Selatan sebelum direformasi atau pada jaman penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang di Indonesia. Dan, ada yang didiskriminasi secara sosial dan budaya dalam bentuk kebijakan pemerintah nasional dan pemerintah setempat seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini.
Dalam tulisan singkat ini akan ditunjukkan bahwa perjuangan hak-hak minoritas hanya mungkin berhasil jika masyarakat majemuk Indonesia kita perjuangkan untuk dirubah menjadi masyarakat multikultural. Karena dalam masyarakat multikultural itulah, hak-hak untuk berbeda diakui dan dihargai. Tulisan ini akan dimulai dengan penjelasan mengenai apa itu masyarakat Indonesia majemuk, yang seringkali salah diidentifikasi oleh para ahli dan orang awam sebagai masyarakat multikultural.
Uraian berikutnya adalah mengenai dengan penjelasan mengenai apa itu golongan minoritas dalam kaitan atau pertentangannya dengan golongan dominan, dan disusul dengan penjelasan mengenai multikulturalisme. Tulisan akan diakhiri dengan saran mengenai bagaimana memperjuangkan hak-hak minoritas di Indonesia.

Masyarakat Majemuk Indonesia

Masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat sukubangsa oleh sistem nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa (by force) menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara. Sebelum Perang Dunia kedua, masyarakat-masyarakat negara jajahan adalah contoh dari masyarakat majemuk. Sedangkan setelah Perang Dunia kedua contoh-contoh dari masyarakat majemuk antara lain, Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan, dan Suriname. Ciri-ciri yang mencolok dan kritikal dari masyarakat majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintah nasional dengan masyarakat sukubangsa, dan hubungan di antara masyarakat sukubangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional.
Dalam perspektif hubungan kekuatan, sistem nasional atau pemerintahan nasional adalah yang dominan dan masyarakat-masyarakat sukubangsa adalah minoritas. Hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat sukubangsa dalam masyarakat jajahan selalu diperantarai oleh golongan perantara, yang posisi ini di Hindia Belanda dipegang oleh golongan Cina, Arab, dan Timur Asing lainnya untuk kepentingan pasar. Sedangkan para sultan dan raja atau para bangsawan yang didukung oleh para birokrat (priyayi) digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan penguasaan. Atau dipercayakan kepada para bangsawan dan priyayi untuk kelompok-kelompok sukubangsa yang digolongkan sebagai terbelakang atau primitif.
Dalam masyarakat majemuk dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial yang membedakan mereka yang tergolong sebagai dominan yang menjadi lawan dari yang minoritas. Dalam masyarakat Hindia Belanda, pemerintah nasional atau penjajah mempunyai kekutan iliter dan polisi yang dibarengi dengan kekuatan hukum untuk memaksakan kepentingan-kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia. Dalam struktur hubungan kekuatan yang berlaku secara nasional, dalalm penjajahan hindia Belanda terdapat golongan yang paling dominan yang berada pada lapisan teratas, yaitu orang Belanda dan orang kulit putih, disusul oleh orang Cina, Arab, dan Timur asing lainnya, dan kemuian yang terbawah adalah mereka yang tergolong pribumi. Mereka yang tergolong pribumi digolongkan lagi menjadi yang tergolong telah mengenal peradaban dan meraka yang belum mengenal peradaban atau yang masih primitif. Dalam struktur yang berlaku nasional ini terdapat struktur-struktur hubungan kekuatan dominan-minoritas yang bervariasi sesuai konteks-konteks hubungan dan kepentingan yang berlaku.
Dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia, pemerintah penjajahan Jepang yang merupakan pemerintahan militer telah memposisikan diri sebagai kekuatan memaksa yang maha besar dalam segala bidang kehidupan masyarakat sukubangsa yang dijajahnya. Dengan kerakusannya yang luar biasa, seluruh wilayah jajahan Jepang di Indonesia dieksploitasi secara habis-habisan baik yang berupa sumberdaya alam fisik maupun sumberdaya manusianya (ingat Romusha), yang merupakan kelompok minoritas dalam perspektif penjajahan Jepang. Warga masyarakat Hindia Belanda yang kemudian menjadi warga penjajahan Jepang menyadari pentingnya memerdekakan diri dari penjajahan Jepang yang amat menyengsarakan mereka, memerdekakan diri pada tanggal 17 agustus tahun 1945, dipimpin oleh Soekarno-Hatta.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, yang disemangati oleh Sumpah Pemuda tahun 1928, sebetulnya merupakan terbentuknya sebuah bangsa dalam sebuah negara yaitu Indonesia tanpa ada unsur paksaan.
Pada tahun-tahun penguasaan dan pemantapan kekuasaan pemerintah nasional barulah muncul sejumlah pemberontakan kesukubangsaan-keyakinan keagamaan terhadap pemerintah nasional atau pemerintah pusat, seperti yang dilakukakn oleh DI/TII di jawa Barat, DI/TII di Sulawesi Selatan, RMS, PRRI di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, Permesta di Sulawesi Utara, dan berbagai pemberontakan dan upaya memisahkan diri dari Republik Indonesia akhir-akhir ini sebagaimana yang terjadi di Aceh, di Riau, dan di Papua, yang harus diredam secara militer. Begitu juga dengan kerusuhan berdarah antar suku bangsa yang terjadi di kabupaten Sambas, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Maluku yang harus diredam secara paksa. Kesemuanya ini menunjukkan adanya pemantapan pemersatuan negara Indonesia secara paksa, yang disebabkan oleh adanya pertentangan antara sistem nasional dengan masyarakat suku bangsa dan konflik di antara masyarakat-masyarakat sukubangsa dan keyakinan keagamaan yang berbeda di Indonesia.
Dalam era diberlakukannya otonomi daerah, siapa yang sepenuhnya berhak atas sumberdaya alam, fisik, dan sosial budaya, juga diberlakukan oleh pemerintahan lokal, yang dikuasai dan didominasi administrasi dan politiknya oleh putra daerah atau mereka yang secara sukubangsa adalah sukubangsa yang asli setempat. Ini berlaku pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten dan wilayah administrasinya.
Ketentuan otonomi daerah ini menghasilkan golongan dominan dan golongan minoritas yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kesukubangsaan yang bersangkutan. Lalu apakah itu dinamakan minoritas dan dominan?

Hubungan Dominan-Minoritas


Kelompok minoritas adalah orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajad atau tidak adil dalam masyarakat di mana mereka itu hidup. Karena itu mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi secara kolektif. Mereka diperlakukan sebagai orang luar dari masyarakat di mana mereka hidup. Mereka juga menduduki posisi yang tidak menguntungkan dalam kehidupan sosial masyarakatnya, karena mereka dibatasi dalam sejumlah kesempatan-kesempatan sosial, ekonomi, dan politik. Mereka yang tergolong minoritas mempunyai gengsi yang rendah dan seringkali menjadi sasaran olok-olok, kebencian, kemarahan, dan kekerasan. Posisi mereka yang rendah termanifestasi dalam bentuk akses yang terbatas terhadap kesempatan-kesempatan pendidikan, dan keterbatasan dalam kemajuan pekerjaan dan profesi.
Keberadaan kelompok minoritas selalu dalam kaitan dan pertentangannya dengan kelompok dominan, yaitu mereka yang menikmati status sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak. Mereka ini mengembangkan seperangkat prasangka terhadap golongan minoritas yang ada dalam masyarakatnya.
Prasangka ini berkembang berdasarkan pada adanya
 (1) perasaan superioritas pada mereka yang tergolong dominan
 (2) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang rendah derajadnya itu adalah berbeda dari mereka dantergolong sebagai orang asing
 (3) adanya klaim pada golongan dominan bahwa sebagai akses sumber daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah derajadnya itu akan mengambil sumberdaya-sumberdaya tersebut.
Dalam pembahasan tersebut di atas, keberadaan dan kehidupan minoritas yang dilihat dalam pertentangannya dengan dominan, adalah sebuah pendekatan untuk melihat minoritas dengan segala keterbatasannya dan dengan diskriminasi dan perlakukan yang tidak adil dari mereka yang tergolong dominan. Dalam perspektif ini, dominan-minoritas dilihat sebagai hubungan kekuatan. Kekuatan yang terwujud dalam struktur-struktur hubungan kekuatan, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat-tingkat lokal.
Bila kita melihat minoritas dalam kaitan atau pertentangannya dengan mayoritas maka yang akan dihasilkan adalah hubungan mereka yang populasinya besar (mayoritas) dan yang populasinya kecil (minoritas). Perspektif ini tidak akan dapat memahami mengapa golongan minoritas didiskriminasi. Karena besar populasinya belum tentu besar kekuatannya.
Konsep diskriminasi sebenarnya hanya digunakan untuk mengacu pada tindakan-tindakan perlakuakn yang berbeda dan merugikan terhadap mereka yang berbeda secara askriptif oleh golongan yang dominan. Yang termasuk golongan sosial askriptif adalah suku bangsa (termasuk golongan ras, kebudayaan sukubangsa, dan keyakinan beragama), gender atau golongan jenis kelamin, dan umur. Berbagai tindakan diskriminasi terhadap mereka yang tergolong minoritas, atau pemaksaan untuk merubah cara hidup dan kebudayaan mereka yang tergolong minoritas (atau asimilasi) adalah pola-pola kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat majemuk.
Berbagai kritik atau penentangan terhadap dua pola yang umum dilakukan oleh golongan dominan terhadap minoritas biasanya tidak mempan, karena golongan dominan mempunyai kekuatan berlebih dan dapat memaksakan kehendak mereka baik secara kasar dengan kekuatan militer dan atau polisi atau dengan menggunakan ketentuan hukum dan berbagai cara lain yang secara sosial dan budaya masuk akal bagi kepentingan mereka yang dominan. Menurut pendapat saya, cara yang terbaik adalah dengan mengubah masyarakat majemuk (plural society) menjadi masyarakat multikultural (multicultural society), dengan cara mengadopsi ideologi multikulturalisme sebagai pedoman hidup dan sebagai keyakinan bangsa Indonesia untuk diaplikasikan dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Multikulturalisme dan Kesederajatan

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan terutama ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu sukubangsa (dan ras), gender, dan umur. Ideologi multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku secara individual (HAM) dalam berhadapan dengan kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat.
Sehingga upaya penyebarluasan dan pemantapan serta penerapan ideologi multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, mau tidak mau harus bergandengan tangan dengan upaya penyebaran dan pemantapan ideologi demokrasi dan kebangsaan atau kewarganegaraan dalam porsi yang seimbang.
Sehingga setiap orang Indoensia nantinya, akan mempunyai kesadaran tanggung jawab sebagai orang warga negara Indonesia, sebagai warga sukubangsa dan kebudayaannya, tergolong sebagai gender tertentu, dan tergolong sebagai umur tertentu yang tidak akan berlaku sewenang-wenang terhadap orang atau kelompok yang tergolong lain dari dirinya sendiri dan akan mampu untuk secara logika menolak diskriminasi dan perlakuakn sewenang-wenang oleh kelompok atau masyarakat yang dominan. Program penyebarluasan dan pemantapan ideologi multikulturalisme ini pernah saya usulkan untuk dilakukan melalui pendidikakn dari SD s.d. Sekolah Menengah Atas, dan juga S1 Universitas. Melalui kesempatan ini saya juga ingin mengusulkan bahwa ideologi multikulturalisme seharusnya juga disebarluaskan dan dimantapkan melalui program-program yang diselenggarakan oleh LSM yang yang sejenis.
Mengapa perjuangan anti-diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dilakukan melalui perjuangan menuju masyarakat multikultural? Karena perjuangan anti-diskriminasi dan perjuangan hak-hak hidup dalam kesederajatan dari minoritas adalah perjuangan politik, dan perjuangan politik adalah perjuangan kekuatan.
Perjuangan kekuatan yang akan memberikan kekuatan kepada kelompok-kelompok minoritas sehingga hak-hak hidup untuk berbeda dapat dipertahankan dan tidak tidak didiskriminasi karena digolongkan sebagai sederajad dari mereka yang semula menganggap mereka sebagai dominan. Perjuangan politik seperti ini menuntut adanya landasan logika yang masuk akal di samping kekuatan nyata yang harus digunakan dalam penerapannya. Logika yang masuk akal tersebut ada dalam multikulturalisme dan dalam demokrasi.
Upaya yang telah dan sedang dilakukan terhadap lima kelompok minoritas di Indonesia oleh LSM, untuk meningkatkan derajad mereka, mungkin dapat dilakukan melalui program-program pendidikan yang mencakup ideologi multikulturalisme dan demokrasi serta kebangsaan, dan berbagai upaya untuk menstimuli peningkatan kerja produktif dan profesi. Sehingga mereka itu tidak lagi berada dalam keterbelakangan dan ketergantungan pada kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat setempat dimana kelompok minoritas itu hidup.


[1] Dipresentasikan dalam Workshop Yayasan Interseksi, Hak-hak Minoritas dalam Landscape Multikultural, Mungkinkah di Indonesia?, Wisma PKBI, 10 Agustus 2004, 14.00-17.00 bbwi
http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/masyarakat_majemuk.html