Masyarakat
Majemuk
Pluralitas
dalam Kehidupan
Bermasyarakat yang Beradab dan Bermartabat
Pendahuluan
Masyarakat
majemuk atau masyarakat plural dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri
dari berbagai kelompok dan strata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya dan
agama. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok
yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan yang sistemik yang mengakibatkan
terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu
(Asykuri, dkk., 2002:107)
Pluralitas
baru bermakna positif bila ada interaksi dan relasi saling percaya antara
sesama (social-trust) . Hal itu merupakan prasyarat untuk terciptanya
masyarakat yang beradab dan bermartabat . Yaitu masyarakat yang memiliki moral,
akhlak, etika, budi luhur, santun, sabar dan arif, menghormati hak asasi,
menghormati diri sendiri dan orang lain, bangsa sendiri dan bangsa lain, suku
dan kelompok sendiri dan suku serta kelompok lain. Dengan begitu upaya untuk
mencapai kualitas hidup yang optimal untuk menjadi lebih sejahtera, berkeadilan
dan berkemakmuran, niscaya akan membawa masyarakat itu dapat duduk sama rendah
dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk
maksud tersebut diperlukan infra struktur harmonisasi sosial dalam kehidupan
bersama. Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan
martabat. Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah budaya
primitif, keterbelakangan dan hanya asal berbeda dengan alasan kemurnian
penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan hak
manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama.
Tulisan
berikut mencoba mendiskripsikan dan menganalisis secara terbatas , pertama,
tentang hubungan perguruan tingi dengan tranformasi sosial-budaya. Kedua,
wacana dalam menjawab pertanyaan tentang apa yang menjadi intelectual mind-set
atau pemahaman intelektual tentang pluralitas dalam kehidupan bermasyarakat
yang beradab dan bermartabat.
Perguruan
Tinggi dan Transformasi Sosial-Budaya
Salah
satu tanggungjawab kaum intelegensia (Hatta, 1956: 1-12) adalah menjadi agen
perubahan masyarakat atau transformasi sosial dan budaya. Oleh karena itu apa
yang menjadi titik perhatian bangsa yang terus menerus menjadi concern
(kepedulian) masa kini dan masa depan, menjadi relevan untuk ditranformasikan
di dalam dunia pendidikan, apalagi pendidikan tinggi. Sejak beberapa waktu yang
lalu, langkah ini di antaranya direalisasikan melalui komponen kurikulum
Masyarakat Berkehidupan Bersama (MBB) dalam mata kuliah Ilmu Sosial, Budaya
Dasar (ISBD).
Sebagai
transformator, perguruan tinggi menjadi amat strategis dan penting karena pada
saatnya alumni perguruan tinggi dalam berbagai stratanya akan menjadi subyek
dominan untuk menggeluti kehidupan bangsa saat ini dan ke masa depan. Dalam
bahasa lain perguruan tinggi adalah alat perjuangan bangsa dan alat pencerdas
bangsa (T.Jacob, Mandiri Sianipar, 1984: 218). Lebih-lebih lagi pada dekade
terakhir ini, dilihat dari substansi implikatifnya, tugas perguruan tinggi amat
signifikan. Di antaranya untuk mengantisipasi gejala bangsa yang semakin rentan
(fragile) konflik. Begitu pula makin menggejalanya cara pandang dan koridor
pemikiran sebagian masyarakat yang cendrung menyempit. Bahkan ada kecendrungan
klaim kebenaran menjadi milik dan monopoli golongan, kelompok dan aliran.
Parahnya, klaim kebenaran bukan terbatas sebagai milik sendiri dan kelompok
tetapi ingin diyakinkan kepada pihak lain dengan berbagai cara yang
kadang-kadang tidak bijak.
Maka
secara kasat mata terlihat bahwa di mana-mana potensi konflik muncul. Baik
konflik horisontal maupun vertikal. Serta-merta dengan sebab yang amat ringan
dan tanpa disangka menimbulkan gesekan, adu fisik, mass-riot atau huru-hara
massal. Untuk menghindari itu, maka pemahaman pluralisme melalui pendidikan,
merupakan keharusan dan bukan sekedar menjalankan keputusan formal otoritas
pendidikan.
Lebih
dari itu harus merupakan usaha sadar yang sistematik. Perlu ditumbuhkembangkan
kesadaran pluralitas kehidupan bremasyarakat berkeadaban dan bermartabat
terhadap kelompok-kelompok yang ada di dalam masyakat. Bukan hanya untuk
menjaga harmoni sosial tetapi juga meningkatkan kualitas dan daya saing
masing-masing kelompok yang dinamis dan damai. Usaha kolektif untuk menuju
kehidupan yang lebih baik dijalankan melalui sebuah kompetisi antarkelompok
dengan aturan main yang dapat dipahami. Kesadaran peluralisme masyarakat,
dengan demikian diharapkan dapat menghindarkan pecahnya konflik antarkelompok
setiap kali terjadi persaingan di dalamnya .
Berkeadaban
dan Bermartabat
Cita-cita
masyarakat utama yang berakhlak mulia dan bermarbat, begitu luhurnya sehingga
menjadi titik sentral misi kenabian dan kerasulan Muhammad saw. “Sesungguhnya
aku diutus oleh Allah swt ke permukaan bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak
manusia menjadi lebih mulia (HR.Mutafaqun alaih). Pejuang-pejuang kebangsaan
Indonesia sejak dari masa klasik sampai moderen Sultan Hasanudin, Imam Bonjol,
Diponegoro sampai ke Agus Salim, Mohammad Natsir dan Mohammat Hatta samapai ke
tokoh bangsa lain seperti Benyamin Franklin, semua mereka mempelajari dan
mempraktekkan budaya jujur, adil, arif-bijaksana, diam itu emas (tidak
gembar-gembor), tertib (disiplin), tenang, teguh hati, hemat, rajin, moderat,
bersih (sehat), hidup murni dan rendah hari. Ketigabelas budaya beradab
tersebut dipraktekkan dengan pengalaman jatuh-bangun untuk membangun diri dan
bangsa menjadi insan beradab, bermartabat dan terhormat. Transformasi
berkeadaban dan bermartabat itu harus dilakukan melalui interaksi yang santun
dan dialog yang produktif dalam masyarakat yang plural. Dimulai dari pemahaman
peorangan, keluarga dan warga masyarakat tentang perlunya cinta-kasih antara
sesama; memupuk reasa keindahan; empati dalam penderitaan dan kegelisahan orang
lain; menghormati hukum dan keadilan, memiliki padangan positif untuk hidup
bersama; mempunyai tanggungjawab dalam pengabdian; dan memiliki harapan yang
optimis dalam kehidupan (M Habid Mustopo, 1983: 89-274).
Kata
beradab dan bermartabat, sejatinya tidaklah terbatas sebagai inti kualitas dan
kapasitas manusia serta masyarakat yang berbudi luhur. Lebih jauh adalah
menyangkut pula makna kebudayaan dan sistem kehidupan yang lebih luas.
Koentjaraningrat (1974: 20) mengatakan :
Istilah
peradaban dapat disejajarkan dengan kata asing civilization. Istilah itu
biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus
dan indah, seperti : kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan santun dan sistem
pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat yang kompleks. Sering juga
dipakai istilah peradaban itu untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai
sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu
pengetahuan yang maju dan kompleks.
Manusia
berperadaban dan bermartabat dengan demikian diharapkan dapat mensinerjikan
antara suasana dan format bathin yang luhur dengan kreatifitas imaginasi yang
tinggi dalam melahirkan karya tinggi serta menempatkan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi pada posisi yang tinggi pula. Mesin-mesin tidak hanya
menyebabkan manusia bisa terbang, menyelam, melihat dan mendengar dari jarak
jauh, membangun gedung-gedung pencakar langit, tetapi juga mengembangkan
manusia itu sendiri (Weston La Barre, Parsudi Suparlan, 1984:19). Artinya,
betapa tinggi penguassan ilmu dan teknologi, kalau digunakan untuk menghasilkan
mesin-mesin perang pembunuh massal, menciptakan perang dan teror di mana-mana,
maka hal itu tidaklah dapat dikatakan karya manusia yang beradab dan bermartabat
Dari
sejarahnya, masyarakat Indonesia yang beradab dan bermartabat sudah pernah
lahir sebagai kekuatan dunia dalam kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan
Kesultanan-kesultanan Islam sejak abad ke-9 sampai abad ke-15. Realitas sejarah
mengesankan kepada generasi sekarang, bahwa bobot dan kualitas berkeadaban dan
bermartabat itu, lahir dari rahim masyarakat yang majemuk, plural dan
berbeda-beda serta beragam-ragam. Memasuki abad ke-20, paling tidak, ada tiga
karakter diskursus tentang trend (arah) pemahaman kolosal masyarakat Indonesia
tentang dirinya yang pluralis, beradab dan bermartabat yang selalu didengungkan
sejak pra, pada dan pasca kemerdekaan.
Ketiganya
dapat dielaborasi menurut watak awal yang asli sosio-klutural-ideologis;
keterkaitan dengan politik dan demokrasi dalam kecendrungan globalisme; dan
keterkaitan dengan agama-agama. Dengan begitu, maka kosa kata dan moto
kemajemukan, bhinneka tunggal ika atau unity in diversity dan pluralitas dalam
berkehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat perlu dikaji lebih
dalam.
Watak
Pluralitas
Secara
umum pandangan dunia atau world-view bangsa ini terhadap dirinya tentang
kemajemukan (pluralitas) dapat didiskripsikan dalam stream-line (arus utama)
menurut awal kelahiran bangsa, masa pertumbuhan dan masa perkembangan ke depan
. Baik secara sosio-kultural, sosio-politik dan sosio-religius. Secara ringkas,
dapat ditelusuri menurut periodikal sejarah yang dikategorikan sebabagai watak
kultural, aslinya pada masa awal kelahiran bangsa, zaman revolusi dan awal
kemerdekaan (1928-1959); watak politik dan kekuasaan (1959-1990); serta watak
reformasi, priode sekarang dan ke depan .
Karakter
Pertama, watak majemuk secara sosio-kultural aslinya. Masyarakat Indonesia
adalah terdiri atas bangsa yang bersuku-suku dengan cara hidup bermasyarakat
dan berbudaya, adat istiadat serta 300 lebih dialek lokal, hidup di atas lebih
kurang 17 ribu pulau-pulau yang membentang dari Sabang ke Merauke, dari Zulu ke
Pulau Rote yang pernah dijarah Portugis, Spanyol, Inggris dan dijajah Belanda,
dan terakhir Jepang sejak abad ke 16 sampai pertengahan abad ke-20. Jauh
sebelumnya telah berdiri kerajaan Sriwijaya, Mojopahit dan kerajaan Mataram
serta kesultanan-kesultanan di berbagai wilayah nusantara. Secara historikal oleh
Koentjaraningrat (1979 : 21-34) kemajemukan Indonesia menerima pengaruh dari
kebudayaan Hindu, Islam dan Eropa di masa lalu. Akan tetapi di abad ke-20,
dalam kemajemukan dan perbedaan-perbedaan itu masyarakat yang belum menjadi
satu bangsa itu mempunyai tekad untuk bersatu dengan dikumandangkannya tekad
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Tekad itu pula yang mengantarkan bangsa ini
menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada masa awal, istilah
kemajemukan merupakan kosa kata murni dalam mengatakan kebermacaman atau
keberagaman bangsa Indonesia. Lalu dicanangkan motto bhinneka tungal ika:
masyarakat majemuk tetapi tetap bersatu atau unity in diversity. Motivasi
apolikasi kosa kata itu datang dari dalam diri masyarakat dan bangsa Indonesia
sendiri. Katrakanlah, bahwa pluralisme berakar dari ideologi dan
sosio-kulktralnya sendiri.
Karakter
kedua, watak sosio-politik dan kekuasaan. Setelah era proklamasi bangsa ini
mencitrakan diri sebagai bangsa majemuk untuk mengisi kemerdekaan dengan
mengikuti cara-cara demokrasi politik liberalisme Barat. Di sini dimulai
pengaruh kultur politik kosmo-globalisme dimulai. Dengan dikeluarkannya
Maklumat Presiden No X, 16 Oktober 1945 yang intinya mengubah sistem
pemerintahan Presidentil ke Parlementer dan Maklumat Presiden 3 November 1945
tentang kesempatan rakyat mendirikan partai-partai, merupakan awal
pluralitas-politik yang syah. Dengan begitu maka niat monolitik Soekarno yang
hanya akan menggiring PNI sebagai satu-satunya partai politik, berubah kepada
dibolehkannya hidup banyak partai. Kehidupan multi partaipun dimulai. Dengan
demikian pluralitas politik dihalalkan, hanya dengan satu restriksi, bahwa
partai jangan hanya asal berdiri saja melainkan turut memperjuangkan keikaan
yaitu turut memperjuangkan kepentingan rakyat banyak: “mempertahankan
kemerdekaan “ dan “memperjuangkan keamanan rakyat” (Deliar Noer, 1990 :
284-289). Mungkin kebebasan itu secara teoritikal adalah baik. Akan tetapi
karena para pemimpin dan masyarakat politik pada masa itu ditambah rakyat yang belum
terdidik secara memadai maka kebebasan multi partai itu tidak membawa
keuntungan amat berarti dalam perkembangan bangsa. Keadaan itu telah membawa
ketidak stabilan pemerintah dengan berganti-gantinya kabinet. Lebih dari itu
Soekarno yang merasa jabatan Presiden hanya sebagai simbol negara, ingin
mendominasi kekuasaan. Puncaknya adalah mundurnya Mohammad Hatta sebagai Wakil
Presiden th 1956 (Ibid, 482). Kemudian berturut-turut dibubarkannya Partai
Sosialis Indonesia (PSI) dan membubarkan dirinya Partai Masyumi pada 1959 dan
pembubaran resminya oleh Presiden th. 1960. Selanjutnya kehidupan nasional
didominasi oleh jargon Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis). Nasakom waktu itu
merupakan soko guru Soekarno sebagai tri-tunggal politik nasionalis yang citrakan
sebagai PNI, Islamis yang dicitrakan NU dan Komunis dan sosialis yang
dicitrakan sebagai PKI . Dengan segala resikonya, moto bhinneka tunggal ika
sudah dikerdilkan dari plate-form politik.
Keadaan
serupa dengan substansi yang berbeda terjadi pada masa Orde Baru. Ketika
Masyumi ingin dihidupkan kembali oleh para pemimpinnya yang baru keluar dari
penjara Orla seperti M. Natsir, M. Rum, Kasman Singodimejo dan lain-lain,
partai itu tidak dibenarkan menamakan diri Masyumi dan harus yang memegang
pucuk pimpinan partai yang menampung eks Masyumi itu bukan tokoh lama. Maka
lahirlah Parmusi yang dipimpin Djarnawi Hadikusuma yang belangan terlalu dekat
dengan kelompok mantan tokoh masyumi lalu digantikan oleh tokoh yang dianggap
lebih dekat dengan Orba seperti Mintareja dan kemudian J. Naro. Episoda
berikutnya pada pentas politik nasional awal Orba itu terdapat 9 partai,
termasuk Parmusi dan 1 Golkar. Belakangan kecuali Golkar, 9 partai tadi
dilikwidasi (istilah waktu itu fusi) menjadi 2 Partai Politik: PPP dan PDI, pada
th 1973 (Sahar L. Hasan, Ed. 1998: 15). Sejak itu di Indonesia hanya terdapat 2
Parpol dan 1 Golkar yang menjalankan fungsi kekuatan resmi sebagai infra
struktur politik. Dengan 3 kekuatan politik itu, pluralitas politik pada dekade
awal Orde Baru itu secara relatif masih ada termasuk masih dibolehkannya 2
parpol tadi berasaskan idelogi Islam dan Nasionalisme, sementara Golkar tetap
dengan ideologi Pancasilanya. Belakangan terjadi perubahan total. Dengan alasan
politik sebagai panglima dan keragaman idelogi telah merusak tatanan bangsa
pada masa Orla, maka keragaman atau pluralitas ideologi harus dilenyapkan.
Kemauan itu terealisasikan dengan disyahkannya UU No. 3 tentang Parpol, th 1975
dan UU No. 5 tentang Ormas th. 1985, diwajibkannya asas tunggal sebagai
ideologi dasar dan asas Parpol dan Ormas. Upaya pengasastunggalkan itu juga
didasari dengan alasan-alasan kepentingan integrasi nasional, perlunya cara
pandang kesatuan udara, laut dan darat sebagai satu kesatuan dan perlunya cara
pandang berwawasan nusantara (Sutopo Yuwono, Alfian, Ed, 1985 : 83-95). Dengan
begitu maka pluralitas ideologi sudah terkubur.
Selain
itu, pluralitas sosial budaya yang pada masa pra dan awal kemerdekaan hingga
masa akhir masa Orla masih berkembang simultan dan agak proporsional, berubah
secara signifikan. Bahasa Indonesia yang terdiri dari Bahasa Melayu ditambah
bahasa daerah lainnya dan Bahasa Asing, terkooptasi dengan kosa kata dan
istilah-istilah Jawa dan Sanskerta. Sekedar menyebut contoh, muncullah istilah
Parasamya Purnakarya Nugraha untuk anugrah pembangunan. Binagraha untuk kantor
Presiden dan sebagainya. Watak pluralitas tidak lagi teraplikasikan dalam
kehidupan bangsa secara berimbang tetapi telah terkooptasi oleh satu budaya
suku bangsa mayoritas yang memegang tampuk kekuasaan.
Karakter
ketiga, pluralitas agama secara sosiologis . Dalam rentangan waktu, diskursus
pluralitas agama secara sosiologis, tidaklah terkait secara padu dengan
kenyataan reformasi politik di Indonesia dengan jatuhnya Soeharto 21 Mei 1998.
Karena, pada dasarnya diskursus pluralitas agama sudah jauh ada sejak masa awal
Orde Baru terutama dalam hubungan Islam dan Kristen. Tetapi karena watak Orde
Baru kala itu yang selalu merujuk kepada kestabilan pembangunan sehingga
melahirkan trilogi pembangunan yang disebut: stabilitas keamanan; pertumbuhan
ekonomi dan; pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, maka setiap gejala yang
mengedepankan diskursus tentang pluralitas agama selalu dikaitkan dengan
kewaspadaan yang akan mengganggu kepentingan nasional. Maka setiap yang berbau
intrik suku, agama dan hubungan antara golongan (SARA) yang bersifat
primordialistik, selalu ditekan.
Khusus
hubungan antar agama , pemerintah mempunyai kredo yang disebut tri-krukunan
hidup antar pemeluk agama. Ketiganya adalah kerukunan hidup internal umat
beragama; kerukunan hidup antara umat berlainan (eksternal) agama; dan
kerukunan hidup pemeluk dan organisasi agama dengan pemerintah. Hasilnya, pada
masa itu, meskipun ada gangguan misalnya pelecehan tempat ibadah agama tertentu
oleh pihak lain sehingga menimbulkan kerusuhan, tidaklah akan berlangsung lama
dan traumatis. Pihak keamanan dan berwajib cepat memadamkannya.
Pada
dekade akhir Orde Baru, formula dan keran kebebasan semakin terbuka. Setelah
masa reformasi keran yang semakin terbuka tadi itu bahkan memberikan kebebasan
yang amat sangat. Sebagian ada yang mengatakan kebebasan yang kebablasan. Maka
wilayah yang selama ini amat sensitif seperti SARA di masa orde baru, sudah
tidak lagi tabu untuk publikasi dan diwancanakan di mana-mana. Maka wacana
hubungan antar umat beragama amat intensif dikaji dalam berbagai istilah
pluralitas agama. Pada dasarnya, agama secara sosiologis dipandang sebagai
sesuatu yang given dan sunnatullah memang beragam-ragam dan berbeda-beda (Tobroni-Syamsul
Arifin, 1994: 33-34). Akan tetapi, sebagai mana nanti akan disinggung,
pluralitas agama akan mengalami multi-tafsir dan pada gilirannya ada yang
menganggap sebagai sumber gesekan dan sengketa dalam masyarakat.
Pluralitas
Agama
Di
Indonesia sejak awal kemerdekaan, agama yang dinyatakan resmi adalah Islam,
Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan sejak pemerintahan Gus Dur ditambah
dengan Kong Hu Cu (Konfusionisme). Di kalangan pemeluk agama, secara umum
pandangan dan pemahaman eksistensi masing-masing agama dalam kaitan kehidupan
bersama dalam bermasyarakat dapat diterima. Tentu saja dengan segala resiko
kepelbagaian dan keberagaman atau kemajemukan Inilah yang di dalam tulisan ini
disebut sebagai pluralitas sosiolo-kultural agama. Yang dimaksud adalah
perbedaan kelompok, suku, bahasa, budaya dan adat-istiadat, serta agama yang
dianut.
Pengakuan
formal oleh negara telah diakomodasikan di dalam struktur Departemen Agama
dengan diformasikannya dalam struktur organik Direktorat Jenderal masing-masing
agama tadi. Dengan demikian, baik secara formal maupun informal, kenyataan
bahwa kehadiran agama-agama secara sosiologis dan supra struktur pemerintahan
dapat diterima sebagai sebagai hal yang syah. Kalangan Islam merujuk pluralitas
sosiologis itu dari pedoman pokoknya al-Qur’an. Oleh mayoritas kalangan Islam
pluralitas sosiologi itu diterima sebagai sesuatu yang murni. Inilah yang
dirujuk kepada QS.49:13 . Perbedaaan antara manusia dalam bahasa dan warna
kulit harus diterima sebagai kenyataan positif dan itu merupakan tanda-tanda
kekuasaan Allah(QS, 30:22). Kemajemukan dan perbedaan cara pandang di antara
manusia tidak perlu menimbulkan kegusaran tetapi hendaklah dipahami sebagai
pangkal tolak dorongan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan . Tuhanlah yang akan
menerangkan mengapa manusia berbeda, nanti ketika kita kembali kepada-Nya (QS,
5:48).
Di
dalam kenyataan kehidupan pluralitas sosio-kultural itu ternyata telah
menimbulkan berbagai pengalaman empirik yang berbeda-beda pula pada setiap
bangsa, kawasan, ethnik dan kelompok. Agama yang pada mulanya diterima dalam
batas sosio-kultural tadi ternyata dalam implikasi pengalaman-pengalaman itu,
kadang kala berubah menjadi faktor yang berkelindan dengan fanatisme sosio
kultural lainnya seperti sosio-politik, sosio-ekonomi. Rumitnya pada waktu
wilayah kepentingan pribadi dan kelompok dimasuki oleh provokator untuk
kepentingan sesaat seperti politik-kekuasaan dan kemauan untuk menghegemoni
kelompok lain, resiko konflik menjadi lebih besar. Maka agama menjadi rawan bukan
saja menjadi potensi integrasi tetapi dapat menjadi potensi konflik terbuka.
Disinilah agama sebagai unsur pluralitas masyarakat dianggap dapat menjadi
faktor ancaman bagi kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat.
Akan
tetapi apakah kondisi itu murni hanya karena kecemburuan sosiologis? Pertanyaan
ini hendak dijawab oleh para peneliti dengan mengkaji kemungkinan adanya
pontensi konflik lain yang lebih signifikan. Misalnya adakah potensi konflik
itu berdasarkan konsep teologis atau cara masyarakat beragama dalam menerapkan
akidah-tauhidnya? Pertanyaan ini menjadi relevan dikaitkan dengan tiga sikap
dalam teologi agama-agama sebagai watak pluralitas yang disebut dengan
ekslusifisme, inklusfisme dan paralelisme (Budhy Munawar-Rachman, 2001: 44-52).
Pertama,
sikap ekslusif. Sikap yang menganggap tidak ada kebenaran dan jalan keselamatan
selain agamanya sendiri. Atau dengan ungkapan lain tidak ada agama yang benar
selain agamanya sendiri. Sikap seperti ini ternyata ada di dalam pemeluk
berbagai agama. Di kalangan penganut Nashrani, Yesus adalah satu-satunya jalan
keselamatan . “ Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang
datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes, 14:6). Ayat ini dalam
persepktif orang yang bersikap ekslusif sering dibaca secara literal. Ungkapan
lain, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain Dia”, sebab di
bawah kolong langit ini tidak ada nama lain. Maka terkenallah istilah No other
name yang menyelamatkan manusia (Kisah Para Rasul 4, 12). Dengan istilah itu
disimbolkan tidak adanya keselamtan di luar Yesus Kristus. Sejalan dengan itu
ada pula pandangan ekslusif lain sejak abad pertama oleh Gereja yang dirumuskan
sebagai extra ecclesiam nullau salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) dan
extra ecclesiam nullus propheta (tidak ada nabi di luar Gereja). Pandangan ini
pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442. Paradigma ekslusif itu, sampai
sekarang selalu menjadi pegangan oleh para penganut garis keras para penginjil
. Di antara penginjil Protestan yang menganut paradigma ini adalah Karl Bath
dan Hendrick Kraemer. Nama yang kedua ini bahkan menulis buku The Christian
Message in Non-Christian World mengatakan “Tuhan telah mewahyukan jalan,
kehidupan dan kebenaran dalam Yesus Kristus dan menghendaki ini diketahui di
seluruh dunia” (Ibid, 45).
Sikap
ekslusifisme dianggap para pengkaji pluralisme agama juga ada dari kalangan
Islam. Beberapa ayat al-Qur’an oleh para pengkaji itu dapat pula dianggap
sebagai rujukan kaum muslimin yang membawa kepada sikap eksklusif . Di
antaranya adalah QS.5/Al-Maidah:3; 3/Ali-Imran: 85 ; dan 3/Ali Imran :19. “Hari
ini orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamamu. Janganlah kamu takut
kepada mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan
Ku-cukupkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu”; … Barang
siapa menerima agama selain Islam maka tidaklah akan diterima dan pada hari
akhirat ia termasuk golongan yang rugi”. …” Sungguh, agama pada sisi Allah
adalah Islam”.
Kedua,
sikap Inklusif. Sikap ini bersumber kepada dokumen Konsili Vatikan II 1965 yang
mempengaruhi komunitas Katolik. Produk Konsili itu yang berkaitan dengan agama
lain ada pada “Deklarasi Hubungan Gereja dan Agama-agama Non Kristiani (Nostra
Aetate) . Teolog penganut pandangan ini adalah Karl Rahner ( Ibid, 46). Ia
mengatakan bahwa orang-orang Non-Kristiani juga akan selamat sejauh mereka
didup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan, karena kaarya Tuhan pun ada pada
mereka, walaupun mereka belum pernah mendengar Kabar Baik (Kristen). Rahner
menyebutkan sebagai sikap inklusif berdasarkan the Anonymous Christian (Kristen
anonim). Sikap ini disebutkan oleh para kritikus pluralis sebagai membaca agama
lain dengan kacamata agama sendiri.
Dalam
hal seperti ini, sikap inklusif dalam Islam tampaknya dapat merujuk kepada
Filisof Muslim abad XIV Ibn Taymiah yang membedakan antara orang-orang dan
agama Islam umum (yang Non-Muslim par excellance) , dan orang-orang dan agama
Islam khusus (Muslim par excellance). (Ibid) . Kata Islam sendiri di sini
diartikan seabagai “sikap pasrah kepada Tuhan”. Sebagaimana dikutip Budhy
menawar Rachman yang mengutip Nurcholish Madjid:
“Pangkal
al-Islam ialah persaksian bahwa “ Tidak ada suatu Tuhan apapun selain Allah,
Tuhan yang sebenarnya, “ dan persaksian itu mengandung makna penyembahan hanya
kepada Allah semata meninggalkan penyembahan kepada selain Dia. Inilah al-Islam
al-‘am (Islam umum, universal) yang Allah tidak menerima ajaran ketundukan
selain daripadanya”.
“
Maka semua Nabi itu dan para pengikut mereka, seluruhnya disebut oleh Allah
Ta’ala bahwa mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman
Allah Ta’ala, “Barangsiapa menganut suatu din selain al-Islam maka tidak akan
diterima daripadanya al-din dan di akhirat dia termasuk yang merugi (QS, 3:85)
dan firman Allah, “ Sesungguhnya al-din di sisi Allah ialah al-Islam (QS,
3:19”, yang menurut pemahaman Nurchalish berdasarkan Ibn Taymiyah itu –tidak
khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka Nabi Muhammad s.a.w.
diutus, melainkan hal itu merupakan suatu hukum umum (hukm ‘amm ketentuan
universal) tentang manusia masa lalu dan manusia kemudian hari (Ibid, 46-47).
Dalam
tafsiran mereka seperti diteruskan Budhy Munawar-Rachman, yang menganut paham
yang disebut “Islam Inklusif” ini, mereka menegaskan sekalipun para nabi
mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-Islam dengan pemahaman ketundukan
dan sikap pasrah, itu tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara
harfiah agama mereka al-Islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim.
Itu semua hanyalah peristilahan Arab. Para Nabi dan Rasul, dalam da’wah mereka
pada dasarnya menggunakan bahasa kaumnya masing-masing. Seperti QS,
Ibrahim/14:4 “ Kami tidak mengutus seorang Rasul dengan kecuali dengan bahasa
kaumnya”. Selanjutnya Nurcholish Madjid mengatakan lagi :
Manusia
berselisih tentang orang terdahulu dari kalangan umat Nabi Musa dan Nabi Isa,
apakah mereka itu orang-orang muslim? Ini adalah perselisihan kebahasaan. Sebab
“Islam khusus” (al-Islam khashsh) yang dengan ajaran itu Allah mengutus Nabi
Muhammad saw. Yang mencakup syari’at al-Qur’an tidak ada yang termasuk ke
dalamnya selain umat Muhammad saw. Dan al-Islam sekarang secara keseluruhan
bersangkutan dengan hal ini. Adapun “ Islam umum” (al-islam al’amm) yang
bersangkutan dengan syari’at itu Allah membangkitkan seorang nabi maka
bersangkutan dengan islam-nya setiap umat yang mengikuti seorang Nabi dari para
nabi itu.
Menurut
Budhy Munawar-Rachman, dari wacana di atas tadi dapat disimpulkannya bahwa
kalangan Islam inklusif menganut suatu pandangan bahwa agama semua nabi adalah
satu. “Para nabi adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak, namun agama
mereka satu”. Rasulullah bersabda, “Aku adalah orang yang paling berhak atas
Isa putera Maryam di dunia dan akhirat. Para Nabi adalah saudara satu bapak,
ibu mereka berbeda-beda namun agama mereka satu (HR. Bukhari). Mereka yang
bersikap inklusif ini selanjutnya mengutip QS, 3: 64, sebagai rujukan bahwa ada
titik temu agama-agama, di mana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah
syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju
kebenaran). Menurut kalangan Islam inklusif ini, Allah memang tidak menghendaki
adanya kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisme) . Adanya perbedaan
menjadi motivasi berlomba menuju berbagai kebaikan; dan Allah akan menilai dan
menjelaskan berbagai perbedaan yang ada itu. (QS, al-Maidah/5:48). Menurut
Budhy Munawar-Rachman, di Indonesia pandangan ini secara kuat dianut oleh
Nurcholish Madjid (Ibid, 48).
Ketiga,
sikap Paralelisme . Gugusan pemikiran (paradigma) ini berpandangan bahwa setiap
agama (agama-agama lain di luar Kristen) mempunyai jalan keselamatannya
sendiri, dan karena itu klaim bahwa Kristianitas adalah satu-satunya jalan
(sikap ekslusif), atau melengkapi atau mengisi jalan yang lain (sikap
inklusif), haruslah ditolak, demi alasan teologis dan fenomenologis. Sikap
pluralis teologis dan fenomenalogis ini dengan sangat kuat dianut oleh para
penganut pluralis yang asli, di antaranya adalah John Harwood Hicks dalam God
and the Universe of Faith (1973). Pendapatnya dianggap suatu revolusi dalam
pemikiran teologi agama-agama. Menurut Budhy Munawar-Rachman, Hicks menggunakan
analogi astronomi sebagai berikut :
“ Menurut
Ptolemeus, bumi adalah pusat dari seluruh alam semesta. Pergerakan
planet-planet lain oleh postulating epicycle. Pertumbuhan jumlah epicycle
menjadikan gambaran Ptolemeus makin tidak masuk akal. Karena itulah akhirnya
muncul gambaran Kopernikus, yang menggantikan gambaran Petolemeus, dengan
menganggap mataharilah yang sebenarnya merupakan pusat alam semesta, bukan
bumi. Dengan analogi ini Hicks hendak mengatakan bahwa teologi Ptolemeus kuno
(maksudnya tentu saja orang seperti Barth, Kraemer dan lainnya) dan pertumbuhan
epicycle-nya (pada Rahner, dan lainnya) yang menanggap bahwa Yesus Kristus
adalah pusatnya, makin tidak mungkin menerangkan perkembangan agama-agama lain.
Karena itu ia melakukan revolusi Kopernikan dalam bidang pemikiran teologi
diperlukan, dengan mengganti Kekristenan (Yesus Kristus) kepada Tuhan sebagai
pusat dari alam semesta iman manusia. Semua agama termasuk Kristen, melayani
dan mengelili-Nya. (Ibid).
Di
kalangan pemikir Islam pluralis, tafsir pluralis merupakan pengembangan secara
lebih liberal dari Islam inklusif. Contohnya perbedaan antara Islam dan Kristen
(dan antara agama secara umum) diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan
prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Penganut Islam
pluralis seperti Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr, seperti dikutip Budhy
Munawar-Rachman mengatakan bahwa setiap agama dasarnya distruktur oleh dua hal
tersebut: perumusan iman dan pengalaman iman. Hanya saja setiap agama selalu
menanggap yang satu mendahului yang kedua . Katanya, Islam mendahulukan
“perumusan iman” dalam hal ini Tawhid. Dan pengalaman iman mengikuti perumusan
iman tersebut. Sebaliknya agama Kristen mendahulukan pengalaman iman (dalam hal
ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang
kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi, dan perumusan iman ini
mengikuti pengalaman ini, sehingga terciptalah rumusan dogmtis mengenai
trinitas. Menurut mereka yang pluralis ini, perbedaan struktur perumusan dan
pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan
mengalami Tuhan yang sama. (Ibid, 49). . Tentu saja paradigma pluralis demikian
ditolak oleh para pemeluk agama yang bersikap ekslusif dan inklusif.
Kesimpulan
Kenyataan
pluralitas sosiosilogis tidak selalu secara otomatis membawa kepada keberkahan
dan makna yang positif kalau tidak disejalankan dengan upaya yang terus menerus
untuk diarahkan kepada kehidupan bermasyarakat yang berkeadaban dan
bermartabat. Upaya itu menjadi amat strategis dengan mengoptimalkan peranan
perguruan tinggi sebagai realisasi tanggungjawab sosialnya terhadap masyarakat
dan bangsa. Harmonisasi sosial merupakan infra struktur masyarakat untuk
menjadikan pluralitas itu lebih bermakna untuk kepentingan masa kini dan masa
depan. Ada hal-hal yang rawan dalam relasi pluralitas masyarakat selain masalah
sosio-kultural, ekonomi dan politik. Di antaranya adalah relasi masyarakat dan
agama-agama dalam konteks berteologi .
Pluralisme
agama dalam wacana teologis yang dapat membawa kepada pengertian agama itu sama
saja, akan membahayakan akidah suatu agama. Maka dapat dipahami, kalau MUI
melarang paham pluralisme-teologis itu di Indonesia karena akan meringankan
makna eksistensi akidah suatu agama bagi para pemeluknya. Akan tetapi wacana
pluralis-teologis cukup signifikan untuk perkembangan ilmu pengetahuan seperti
kajian terhadap berbagai filsafat temasuk dari yang paling masuk akal sampai
kepada yang utopis. Bahkan mempelajari komunisme dan atheisme untuk ilmu
pengetahuan adalah diperlukan untuk mengetahui jalan pemikiran dan
alasan-alasan mereka.
Dengan
begitu akan ada kesabaran intelektual dan hati untuk meletakkan mereka yang
berbeda pendapat sebagai manusia yang bebas berfikir dan tidak membawa kepada
kepanikan apalagi gesekan fisik. Oleh karena itu sebaiknya wacana pluralis
untuk kalangan awam tidak dikaitkan dengan cara bertawhid atau pemikiran iman
atau filosofis-teologis. Wacana peluralis lebih relevan untuk mengatur
kemajemukan masyarakat atau tataran sosiologis, kultural, ekonomi dan politik.
Sehingga tercipta kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. Allah
a’lam bi al-shawab. E-mail : shofwankarim@plasa.com
Daftar
Kepustaakaan
Asykuri
Ibnu Chamim, dkk . 2002. Pendidikan Kewarganegaraan: Menuju Kehidupan yang
Demokratis dan Berkeadaban. Yogyakarta: Diktilitbang PP Muhammadiyah-The Asia
Foundation.
Mohammad
Hatta. 1976. Tanggungjawab Kaum Intelegensia. Jakarta: Bulan Bintang.
Koentjaraningrat.
1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
T.
Jacob dalam Mandiri Sianipar. 1984. “Perguruan Tinggi sebagai sumber Kader
Bangsa”. Pendidikan Pilitik Bangsa. Jakarta: Sinar Harapan.
M.
Habid Mustopo, Ed. 1983. Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay Manusia dan Budaya.
Surabaya: Usaha Nasional.
Koentjaraningrat.
1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.
Parsudi
Suparlan,Ed. 1984. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya: Bacaan untuk MKDU,
Khususnya ISD. Jakarta: Konsorsium Antar Bidang Depdikbud dan Rajawali.
Deliar
Noer. 1990. Mohammad Hatta; Biografi Politik. Jakarta: LP3ES
Sahar
L. Hasan, Ed. 1998. Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi. Jakarta:
Gema Insani Press.
Sutopo
Yuwono dalam Alfian, Ed. 1985. “Persepsi Ketahanan Nasional terhadap
Kebudayaan”. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta : Gramedia.
Tobroni-Syamsul
Arifin. 1994. Islam, Pluralisme Budaya dan Politik. Yogyakarta: SI Press.
Budhy
Munawar-Rachman.2001. Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta:
Paramadina.
Masyarakat
Majemuk, Masyarakat Multikultural, dan Minoritas: Memperjuangakan
Hak-hak Minoritas
Masyarakat Majemuk
Dalam masyarakat majemuk manapun, mereka yang
tergolong sebagai minoritas selalu didiskriminasi. Ada yang didiskriminasi
secara legal dan formal, seperti yang terjadi di negara Afrika Selatan sebelum
direformasi atau pada jaman penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang di
Indonesia. Dan, ada yang didiskriminasi secara sosial dan budaya dalam
bentuk kebijakan pemerintah nasional dan pemerintah setempat seperti yang terjadi
di Indonesia dewasa ini.
Dalam tulisan singkat ini akan ditunjukkan
bahwa perjuangan hak-hak minoritas hanya mungkin berhasil jika masyarakat
majemuk Indonesia kita perjuangkan untuk dirubah menjadi masyarakat
multikultural. Karena dalam masyarakat multikultural itulah, hak-hak untuk
berbeda diakui dan dihargai. Tulisan ini akan dimulai dengan penjelasan
mengenai apa itu masyarakat Indonesia majemuk, yang seringkali salah
diidentifikasi oleh para ahli dan orang awam sebagai masyarakat multikultural.
Uraian berikutnya adalah mengenai dengan
penjelasan mengenai apa itu golongan minoritas dalam kaitan atau
pertentangannya dengan golongan dominan, dan disusul dengan penjelasan mengenai
multikulturalisme. Tulisan akan diakhiri dengan saran mengenai bagaimana memperjuangkan
hak-hak minoritas di Indonesia.
Masyarakat Majemuk Indonesia
Masyarakat majemuk terbentuk dari
dipersatukannya masyarakat-masyarakat sukubangsa oleh sistem nasional, yang
biasanya dilakukan secara paksa (by force) menjadi sebuah bangsa dalam wadah
negara. Sebelum Perang Dunia kedua, masyarakat-masyarakat negara jajahan adalah
contoh dari masyarakat majemuk. Sedangkan setelah Perang Dunia kedua
contoh-contoh dari masyarakat majemuk antara lain, Indonesia, Malaysia, Afrika
Selatan, dan Suriname. Ciri-ciri yang mencolok dan kritikal dari masyarakat
majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintah nasional dengan
masyarakat sukubangsa, dan hubungan di antara masyarakat sukubangsa yang
dipersatukan oleh sistem nasional.
Dalam perspektif hubungan kekuatan, sistem
nasional atau pemerintahan nasional adalah yang dominan dan
masyarakat-masyarakat sukubangsa adalah minoritas. Hubungan antara pemerintah
nasional dengan masyarakat sukubangsa dalam masyarakat jajahan selalu
diperantarai oleh golongan perantara, yang posisi ini di Hindia Belanda
dipegang oleh golongan Cina, Arab, dan Timur Asing lainnya untuk kepentingan
pasar. Sedangkan para sultan dan raja atau para bangsawan yang didukung oleh
para birokrat (priyayi) digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan
penguasaan. Atau dipercayakan kepada para bangsawan dan priyayi untuk
kelompok-kelompok sukubangsa yang digolongkan sebagai terbelakang atau
primitif.
Dalam masyarakat majemuk dengan demikian ada
perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik yang dikukuhkan sebagai hukum
ataupun sebagai konvensi sosial yang membedakan mereka yang tergolong sebagai
dominan yang menjadi lawan dari yang minoritas. Dalam masyarakat Hindia
Belanda, pemerintah nasional atau penjajah mempunyai kekutan iliter dan polisi
yang dibarengi dengan kekuatan hukum untuk memaksakan
kepentingan-kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia.
Dalam struktur hubungan kekuatan yang berlaku secara nasional, dalalm
penjajahan hindia Belanda terdapat golongan yang paling dominan yang berada
pada lapisan teratas, yaitu orang Belanda dan orang kulit putih, disusul oleh
orang Cina, Arab, dan Timur asing lainnya, dan kemuian yang terbawah adalah
mereka yang tergolong pribumi. Mereka yang tergolong pribumi digolongkan lagi
menjadi yang tergolong telah mengenal peradaban dan meraka yang belum mengenal
peradaban atau yang masih primitif. Dalam struktur yang berlaku nasional ini
terdapat struktur-struktur hubungan kekuatan dominan-minoritas yang bervariasi
sesuai konteks-konteks hubungan dan kepentingan yang berlaku.
Dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia,
pemerintah penjajahan Jepang yang merupakan pemerintahan militer telah
memposisikan diri sebagai kekuatan memaksa yang maha besar dalam segala bidang
kehidupan masyarakat sukubangsa yang dijajahnya. Dengan kerakusannya yang luar
biasa, seluruh wilayah jajahan Jepang di Indonesia dieksploitasi secara
habis-habisan baik yang berupa sumberdaya alam fisik maupun sumberdaya
manusianya (ingat Romusha), yang merupakan kelompok minoritas dalam perspektif
penjajahan Jepang. Warga masyarakat Hindia Belanda yang kemudian menjadi warga
penjajahan Jepang menyadari pentingnya memerdekakan diri dari penjajahan Jepang
yang amat menyengsarakan mereka, memerdekakan diri pada tanggal 17 agustus
tahun 1945, dipimpin oleh Soekarno-Hatta.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, yang disemangati oleh
Sumpah Pemuda tahun 1928, sebetulnya merupakan terbentuknya sebuah bangsa dalam
sebuah negara yaitu Indonesia tanpa ada unsur paksaan.
Pada tahun-tahun penguasaan dan pemantapan
kekuasaan pemerintah nasional barulah muncul sejumlah pemberontakan
kesukubangsaan-keyakinan keagamaan terhadap pemerintah nasional atau pemerintah
pusat, seperti yang dilakukakn oleh DI/TII di jawa Barat, DI/TII di Sulawesi
Selatan, RMS, PRRI di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, Permesta di Sulawesi
Utara, dan berbagai pemberontakan dan upaya memisahkan diri dari Republik
Indonesia akhir-akhir ini sebagaimana yang terjadi di Aceh, di Riau, dan di
Papua, yang harus diredam secara militer. Begitu juga dengan kerusuhan berdarah
antar suku bangsa yang terjadi di kabupaten Sambas, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tengah, dan Maluku yang harus diredam secara paksa. Kesemuanya ini menunjukkan
adanya pemantapan pemersatuan negara Indonesia secara paksa, yang disebabkan
oleh adanya pertentangan antara sistem nasional dengan masyarakat suku bangsa
dan konflik di antara masyarakat-masyarakat sukubangsa dan keyakinan keagamaan
yang berbeda di Indonesia.
Dalam era diberlakukannya otonomi daerah,
siapa yang sepenuhnya berhak atas sumberdaya alam, fisik, dan sosial budaya,
juga diberlakukan oleh pemerintahan lokal, yang dikuasai dan didominasi
administrasi dan politiknya oleh putra daerah atau mereka yang secara
sukubangsa adalah sukubangsa yang asli setempat. Ini berlaku pada tingkat
provinsi maupun pada tingkat kabupaten dan wilayah administrasinya.
Ketentuan otonomi daerah ini menghasilkan
golongan dominan dan golongan minoritas yang bertingkat-tingkat sesuai dengan
kesukubangsaan yang bersangkutan. Lalu apakah itu dinamakan minoritas dan
dominan?
Hubungan Dominan-Minoritas
Kelompok minoritas adalah orang-orang yang
karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau kebudayaannya
dipisahkan dari orang-orang lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajad
atau tidak adil dalam masyarakat di mana mereka itu hidup. Karena itu mereka
merasakan adanya tindakan diskriminasi secara kolektif. Mereka diperlakukan
sebagai orang luar dari masyarakat di mana mereka hidup. Mereka juga menduduki
posisi yang tidak menguntungkan dalam kehidupan sosial masyarakatnya, karena
mereka dibatasi dalam sejumlah kesempatan-kesempatan sosial, ekonomi, dan
politik. Mereka yang tergolong minoritas mempunyai gengsi yang rendah dan
seringkali menjadi sasaran olok-olok, kebencian, kemarahan, dan kekerasan.
Posisi mereka yang rendah termanifestasi dalam bentuk akses yang terbatas
terhadap kesempatan-kesempatan pendidikan, dan keterbatasan dalam kemajuan
pekerjaan dan profesi.
Keberadaan kelompok minoritas selalu dalam
kaitan dan pertentangannya dengan kelompok dominan, yaitu mereka yang menikmati
status sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak. Mereka ini
mengembangkan seperangkat prasangka terhadap golongan minoritas yang ada dalam
masyarakatnya.
Prasangka ini berkembang berdasarkan pada adanya
(1) perasaan superioritas
pada mereka yang tergolong dominan
(2) sebuah perasaan yang
secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang
rendah derajadnya itu adalah berbeda dari mereka dantergolong sebagai orang
asing
(3) adanya klaim pada
golongan dominan bahwa sebagai akses sumber daya yang ada adalah merupakan hak
mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan
rendah derajadnya itu akan mengambil sumberdaya-sumberdaya tersebut.
Dalam pembahasan tersebut di atas, keberadaan
dan kehidupan minoritas yang dilihat dalam pertentangannya dengan dominan,
adalah sebuah pendekatan untuk melihat minoritas dengan segala keterbatasannya
dan dengan diskriminasi dan perlakukan yang tidak adil dari mereka yang
tergolong dominan. Dalam perspektif ini, dominan-minoritas dilihat sebagai
hubungan kekuatan. Kekuatan yang terwujud dalam struktur-struktur hubungan
kekuatan, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat-tingkat lokal.
Bila kita melihat minoritas dalam kaitan atau
pertentangannya dengan mayoritas maka yang akan dihasilkan adalah hubungan
mereka yang populasinya besar (mayoritas) dan yang populasinya kecil
(minoritas). Perspektif ini tidak akan dapat memahami mengapa golongan
minoritas didiskriminasi. Karena besar populasinya belum tentu besar
kekuatannya.
Konsep diskriminasi sebenarnya hanya digunakan untuk mengacu
pada tindakan-tindakan perlakuakn yang berbeda dan merugikan terhadap mereka
yang berbeda secara askriptif oleh golongan yang dominan. Yang termasuk
golongan sosial askriptif adalah suku bangsa (termasuk golongan ras, kebudayaan
sukubangsa, dan keyakinan beragama), gender atau golongan jenis kelamin, dan
umur. Berbagai tindakan diskriminasi terhadap mereka yang tergolong minoritas,
atau pemaksaan untuk merubah cara hidup dan kebudayaan mereka yang tergolong
minoritas (atau asimilasi) adalah pola-pola kehidupan yang umum berlaku dalam
masyarakat majemuk.
Berbagai kritik atau penentangan terhadap dua
pola yang umum dilakukan oleh golongan dominan terhadap minoritas biasanya
tidak mempan, karena golongan dominan mempunyai kekuatan berlebih dan dapat
memaksakan kehendak mereka baik secara kasar dengan kekuatan militer dan atau
polisi atau dengan menggunakan ketentuan hukum dan berbagai cara lain yang
secara sosial dan budaya masuk akal bagi kepentingan mereka yang dominan.
Menurut pendapat saya, cara yang terbaik adalah dengan mengubah masyarakat
majemuk (plural society) menjadi masyarakat multikultural (multicultural
society), dengan cara mengadopsi ideologi multikulturalisme sebagai
pedoman hidup dan sebagai keyakinan bangsa Indonesia untuk diaplikasikan dalam
kehidupan bangsa Indonesia.
Multikulturalisme dan Kesederajatan
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang
menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan.
Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik
secara individual maupun secara kelompok, dan terutama ditujukan terhadap golongan
sosial askriptif yaitu sukubangsa (dan ras), gender, dan umur. Ideologi
multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan
proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku
secara individual (HAM) dalam berhadapan dengan kekuasaan dan komuniti atau
masyarakat setempat.
Sehingga upaya penyebarluasan dan pemantapan serta penerapan
ideologi multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, mau tidak
mau harus bergandengan tangan dengan upaya penyebaran dan pemantapan ideologi
demokrasi dan kebangsaan atau kewarganegaraan dalam porsi yang seimbang.
Sehingga setiap orang Indoensia nantinya, akan
mempunyai kesadaran tanggung jawab sebagai orang warga negara Indonesia,
sebagai warga sukubangsa dan kebudayaannya, tergolong sebagai gender tertentu,
dan tergolong sebagai umur tertentu yang tidak akan berlaku sewenang-wenang
terhadap orang atau kelompok yang tergolong lain dari dirinya sendiri dan akan
mampu untuk secara logika menolak diskriminasi dan perlakuakn sewenang-wenang
oleh kelompok atau masyarakat yang dominan. Program penyebarluasan dan
pemantapan ideologi multikulturalisme ini pernah saya usulkan untuk dilakukan
melalui pendidikakn dari SD s.d. Sekolah Menengah Atas, dan juga S1
Universitas. Melalui kesempatan ini saya juga ingin mengusulkan bahwa ideologi
multikulturalisme seharusnya juga disebarluaskan dan dimantapkan melalui
program-program yang diselenggarakan oleh LSM yang yang sejenis.
Mengapa perjuangan anti-diskriminasi terhadap
kelompok-kelompok minoritas dilakukan melalui perjuangan menuju masyarakat
multikultural? Karena perjuangan anti-diskriminasi dan perjuangan hak-hak hidup
dalam kesederajatan dari minoritas adalah perjuangan politik, dan perjuangan
politik adalah perjuangan kekuatan.
Perjuangan kekuatan yang akan memberikan
kekuatan kepada kelompok-kelompok minoritas sehingga hak-hak hidup untuk
berbeda dapat dipertahankan dan tidak tidak didiskriminasi karena digolongkan
sebagai sederajad dari mereka yang semula menganggap mereka sebagai dominan.
Perjuangan politik seperti ini menuntut adanya landasan logika yang masuk akal
di samping kekuatan nyata yang harus digunakan dalam penerapannya. Logika yang
masuk akal tersebut ada dalam multikulturalisme dan dalam demokrasi.
Upaya yang telah dan sedang dilakukan terhadap lima kelompok
minoritas di Indonesia oleh LSM, untuk meningkatkan derajad mereka, mungkin
dapat dilakukan melalui program-program pendidikan yang mencakup ideologi
multikulturalisme dan demokrasi serta kebangsaan, dan berbagai upaya untuk
menstimuli peningkatan kerja produktif dan profesi. Sehingga mereka itu tidak
lagi berada dalam keterbelakangan dan ketergantungan pada kelompok-kelompok
dominan dalam masyarakat setempat dimana kelompok minoritas itu hidup.
[1] Dipresentasikan
dalam Workshop Yayasan Interseksi, Hak-hak Minoritas dalam Landscape Multikultural,
Mungkinkah di Indonesia?, Wisma PKBI, 10 Agustus 2004, 14.00-17.00 bbwi
http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/masyarakat_majemuk.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar